Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Buruh Banten Tuntut Kenaikan Upah

Detik-detik menjelang penetapan upah minimum provinsi 2015 pada bulan depan, sejumlah serikat pekerja di Provinsi Banten gencar menuntut kenaikan upah.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, TANGERANG—Detik-detik menjelang penetapan upah minimum provinsi 2015 pada bulan depan, sejumlah serikat pekerja di Provinsi Banten gencar menuntut kenaikan upah.

Nur Rohmah, Ketua DPC SBSI 1992 Tangerang Selatan mengatakan selain menuntut kenaikan upah, pihaknya juga meminta sejumlah perusahaan memberikan hak lembur, pengangkatan status karyawan, pemberlakuan upah minimum sektoral dan keikutsertaan dalam jaminan sosial kesehatan.

“Sejumlah perusahaan hingga kini belum mentaati penetapan upah minimum sektoral. Jika upah sektoral lebih besar dari upah minimum, banyak perusahaan hanya menggunakan upah minimum,” ujarnya di BSD, Tangerang Selatan, Selasa (21/10/2014).

Menurutnya, sejumlah perusahaan belum mematuhi undang-undang ketenagakerjaan yang menetapkan waktu kerja maksimal satu minggu adalah 40 jam. Pemberlakuan jam kerja lebih dari 40 jam satu minggu kepada buruh tanpa diiringi dengan uang lembur.

Oleh karena itu, pihaknya akan terus menuntut pemerintah daerah untuk memaksa sejumlah perusahaan melaksanakan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Jika tuntutan tersebut tidak dilaksanakan, maka buruh siap melakukan mogok kerja.

Sebelumnya, koordinator konfederasi aksi serikat pekerja seluruh Indonesia (KSPSI) Kota Tangerang menolak upah murah dan sistem kerja kontrak.

Selain itu, pekerja yang tergabung dalam KSPSI Kota Tangerang juga mendesak pemerintah menaikkan upah 2015 sebesar 30% .

Ubaidillah, Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten sebelumnya mengatakan penentuan upah minimum selalu mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7/2013 tentang Upah Minimum dan Instruksi Presiden No. 9/2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum.

Dalam penentuan upah minimum, pemerintah daerah menurutnya mengacu pada hasil survei kebutuhan hidup layak yang kini tengah disusun. Selain KHL, pertumbuhan ekonomi Indonesia maupun regional juga menjadi pertimbangan dalam penetapan upah minimum.

“Walaupun namanya minimum, tetapi, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan rakyat. Seminimalnya sesuai dengan KHL, jika terlalu tinggi ditakutkan perusahaan tidak mampu,” ujarnya.

Berdasarkan hasil survei terdahulu, lanjutnya, komponen kebutuhan hidup layak terdiri dari 60 item, pemerintah provinsi masih menunggu hasil survei kebutuhan hidup layak baik dari panitia pihak pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur badan pusat statistik maupun pihak buruh.

Angka KHL kabupaten/kota di Provinsi Banten menurutnya bervariasi.

Daerah dengan angka KHL tertinggi adalah Kota Tangerang yakni mencapai Rp2,2 juta.

Seiring pertumbuhan ekonomi, Ubai memperkirakan angka KHL pada 2014 akan kembali meningkat.

Selain itu, peningkatan angka KHL juga dapat dipastikan seiring laju inflasi di Banten yang terus tinggi, yakni berada di atas 8% setiap tahunnya.

Abduh Surahman, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Pemerintah Kota Tangerang mengatakan perhitungan komponen kebutuhan hidup layak dilakukan enam bulan berturut-turut sebelum besaran upah minuman diputuskan.

“November survei terakhir, kemudian ditetapkan. Penghitungan KHL dilakukan oleh serikat buruh, Apindo, BPS dan perguruan tinggi. Hasilnya akan menjadi penentu besaran UMK 2015,” ujarnya.

Menurutnya, secara historis besaran UMK Tangerang tidak akan berbeda jauh dari DKI Jakarta, mengingat hasil survei menunjukkan biaya hidup di Kota Tangerang cukup tinggi, bahkan pada beberapa komponen KHL harga pangan di Kota Tangerang lebih tinggi ketimbang Jakarta.

Penyebab sejumlah komponen KHL di Kota Tangerang lebih tinggi ketimbang Jakarta, menurutnya, karena barang pangan yang dijual pada pasar induk di Tangerang didatangkan dari pasar induk Jakarta.

Ketua Dewan Pimpinan Kota (DPK) Apindo Kota Tangerang Gatot Purwanto mengusulkan penetapan upah minimum sebaiknya berdasarkan kriteria kelas perusahaan yang dilihat dari kemampuan finansial dan klasifikasi sektoral.

Menurutnya, metode penghitungan upah minimum saat ini cenderung menyulitkan perusahaan kecil yang sedang tumbuh untuk berkembang. Oleh karena itu, ujarnya, dibutuhkan regulasi yang mengatur penetapan kelas perusahaan berdasarkan kemampuan finansial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper