Kabar24.com, BANDUNG—Penetapan revisi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Jabar 2015 oleh Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dinilai sebagai langkah blunder yang akan merugikan dunia usaha.
Ketua Apindo Jabar Dedy Widjaja mengatakan revisi UMK yang dilakukan gubernur berpotensi blunder mengingat ada wacana harga BBM bersubsidi akan diturunkan oleh pemerintah pusat. Dedy memperkirakan penurunan harga BBM bersubsidi di kisaran Rp500 per liter atau lebih dari angka itu.
“Jadi angka UMK yang telah disahkan November lalu sebetulnya diprediksi cukup untuk memenuhi kebutuhan bagi buruh,” katanya pada bisnis, Minggu (28/12/2014).
Oleh karena itu, lanjutnya, lebih baik pemerintah tetap berpedoman pada acuan UMK yang telah disahkan November lalu meskipun kalangan pengusaha banyak yang tidak setuju dengan besaran angka yang ditetapkan.
"Gubernur jangan terpengaruh dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kalangan serikat buruh. Karena harus juga mepertimbangkan kemampuan pengusaha dalam mengeluarkan beban operasional," ujarnya.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan resmi menetapkan revisi UMK 2015 melalui Keputusan Gubernur No. 561/Kep.1746-Bangsos/2014 tanggal 24 Desember 2014 Tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep.1581-Bangsos/2014 Tentang Upah Minimum Kabupaten / Kota Di Jawa Barat Tahun 2015, yang diberlakukan per 1 Januari 2015.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat Hening Widiatmoko menjelaskan Interval Prosentase Kenaikan/Koreksi UMK 2015 sebesar 1- 4,64% dengan kenaikan terendah 1% yaitu Kab. Karawang, Kota Bekasi, Kab. Purwakarta, dan Kota Depok. Sedangkan kenaikan tertinggi sebesar 4,64 % yaitu Kota Sukabumi dengan rata-rata kenaikan/koreksi di Jawa Barat sebesar 2,02 %.
Menurutnya untuk data UMK 2015 setelah koreksi, UMK Kabupaten Karawang sebesar Rp. 2.987.000UMK adalah tertinggi di Jabar. “Sedangkan UMK terrendah di Jabar adalah Kabupaten Ciamis, sebesar Rp. 1.177.000,” katanya.
Ketua Apindo Kota Cimahi Roy Sunarya mengatakan, keputusan gubernur yang mengkoreksi besaran UMK 2015 yang sebelumnya telah disepakati kemudian dirubah lagi dengan alasan kenaikan BBM tidak sesuai aturan karena didasarkan hasil diskusi dan demo buruh.
"Aturannya tidak ada yang mengatur bahwa hasil diskusi bisa merubah besaran UMK yang telah disepakati. Karena acuan UMK itu adalah hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL)," katanya.
Dia menyebutkan, apabila inflasi diasumsikan sebesar 5-6% ditambah dampak kenaikan BBM terhadap kenaikan harga-harga 1-2% maka hasilnya tidak lebih dari 8%.
Sementara itu, ketika UMK sama dengan 100% KHL, maka kenaikan UMK sebelumnya kenaikannya sudah belasa persen. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk mengkoreksi besaran UMK sebelumnya.
Seharusnya, gubernur fokus terhadap empat kabupaten/kota yang menaikan UMK belum sesuai dengan KHL atau belum 100% KHL. Saat ini, Apindo daerah masih menunggu intruksi langsung dari Dewan Pengurus Pusat Apindo untuk menyikapi keputusan gubernut tersebut.
"Kami tidak ingin akibat keputusan gubernur itu malah menghasilkan kebijakan yang berujung penutupan pabrik dalam jumlah banyak di Jabar," ujarnya.