Bisnis.com, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Sapta Nirwandar sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemerasan pada sejumlah kegiatan di Kementerian ESDM terkait jabatan Jero Wacik sebagai Menteri periode 2011-2013.
Namun, Sapta tidak mengakui dirinya dipangil sebagai saksi, meski dalam jadwal pemeriksaan tertulis namanya. “Gak [jadi saksi], [untuk] diskusi,” katanya saat tiba di Gedung KPK, Rabu (8/10/2014).
Sapta yang menjabat sebagai Wamenparekraf sejak Oktober 2011 itu mengaku akan berdiskusi mengenai Dana Operasional Menteri (DOM). “Soal dana operasional menteri, soal aturan-aturannya. Itu baru, makanya dikasih tahu,” tambahnya.
Menurut Sapta besaran DOM mengalami perubahan. “Ada yang naik ada yang turun, itu ada standarnya,” ungkapnya singkat dan langsung masuk ke ruang tunggu saksi KPK.
KPK menduga Jero Wacik melakukan pemerasan untuk memperbesar dana operasional menteri (DOM) dalam tiga modus, yaitu menghimpun pendapatan dari biaya pengadaan yang dianggarkan Kementerian ESDM, meminta pengumpulan dana dari rekanan untuk program-program tertentu, menganggarkan kegiatan rapat rutin tetapi rapat itu ternyata fiktif.
Hal itu diduga dilakukan Jero karena DOM sebagai menteri ESDM kurang sebanding saat menjabat sebagai Menteri Pariwisata. Jero Wacik pernah menjabat sebagai Menteri Pariwisata periode 2004-2011 sebelum menjadi menteri ESDM pada 2011-2013.
Total dana yang diduga diterima oleh Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat itu mencapai Rp9,9 miliar.
Dalam kasus ini KPK menyangkakan Jero Wacik dengan pasal 12 huruf e atau pasal 23 UU No 31/1999 jo UU No. 20/2001 jo pasal 421 KUHP. Pasal 12 huruf e mengatur mengenai penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri yaitu pasal mengenai pemerasan dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.