Bisnis.com, DEPOK - Perbedaan hasil hitung cepat atau quick count yang dirilis oleh sejumlah lembaga survei setelah Pilpres 9 Juli 2014, dinilai telah mencederai kaidah dan etika penyelenggaraan survei.
"Setidaknya tiga hal mendasar yang perlu dikritisi dari quick count Pilpres 2014," kata Rizal E Halim, Direktur Lingkar Studi Efokus, menanggapi perbedaan hasil hitung cepat Pilpres 2014.
Rizal yang juga peneliti di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) menjelaskan tiga hal mendasar itu yakni pertama, motif yang dikedepankan tidak lagi bersifat memberi informasi yang sebenar-benarnya (objectivity and truth).
Kedua, pihak tersebut mengabaikan faktor etika yang selama ini dijaga oleh mereka yang benar-benar peneliti.
Ketiga, komersialisasi survei khususnya di bidang politik telah mencoreng aktivitas survei yang selama ini banyak dijadika acuan untuk memperbaiki peradaban manusia.
"Kemurnian, obyektivitas dan kebenaran yang menjadi tujuan sebuah survei telah diperkosa secara massal oleh lembaga survei," ujarnya, menegaskan.
Menurut Rizal, untuk mengatasi persoalan hitung cepat, sebaiknya KPU melarang lembaga survei yang tidak mampu menunjukkan kaidah dan keahlian dibidang survei untuk merilis hasil-hasil yang menyesatkan.
Selain itu, ada baiknya lembaga-lembaga survei komersil tidak dijadikan konsumsi publik lagi, cukup untuk konsumsi klien saja.
"Jika ingin menggunakan quick count, tunjuk para peneliti yang memang ahli dari sejumlah univerisitas nasional dan diberi tugas oleh KPU. Jadi quick count disediakan oleh KPU sebelum rilis resmi real count," katanya.
Dia berpendapat hasil hitung cepat merupakan prediksi jadi bisa benar bisa juga salah, untuk itu seharusnya tidak dijadikan dasar sebagai pemenang pilpres.(ant/yus)