Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KRISIS IRAK: Serangan AS Akan Picu Inflasi Global

Ketegangan di Irak akan menjadi fokus utama investor selama beberapa pekan ke depan seiring dengan kembalinya harga minyak ke level normal.
Militer Irak/Bloomberg
Militer Irak/Bloomberg

Bisnis.com, BRUSSELS -- Ketegangan di Irak akan menjadi fokus utama investor selama beberapa pekan ke depan seiring dengan kembalinya harga minyak ke level normal, memperumit isu kesenjangan moneter di sejumlah bank sentral utama.

Harga minyak sempat menyentuh titik tertinggi pekan lalu yaitu US$115 per barel akibat memanasnya aksi militan di Irak.

Minyak mentah AS untuk pengiriman Agustus mengalami peningkatan 0,2%, sedangkan Brent untuk pengiriman periode yang sama justru merosot 0,5%.

“Situasi di Irak mendapat perhatian serius dari investor. Apabila AS memutuskan untuk mengintervensi situasi di Irak, situasi bisa lebih memburuk,” kata analis Montaigne Capital, Arnaud Scarpaci di London, Rabu (25/6/2014).

Hal itu juga berimpilikasi terhadap inflasi di Amerika Serikat, Eropa, dan kinerja ekspor-impor di Asia.

Adapun, inflasi inti AS naik 2% year-on-year (yoy) pada Mei tahun ini.

Jika inflasi terus terpacu lebih tinggi, maka hal itu akan memaksa bank sentral AS menaikkan suku bunga acuannya.

Tetapi, untuk saat ini, dampak konflik Irak dan kenaikan minyak mentah belum berimpilkasi signifikan bagi the Fed.

Apalagi, Gubernur the Fed Janet Yellen menekankan AS masih membutuhkan suku bunga acuan yang rendah untuk mendukung pemulihan ekonomi, setidaknya hingga pertengahan 2015.

Kontras dengan AS, jatuhnya harga energi merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan lemahnya inflasi di zona euro.

Lebih jauh, kenaikan harga minyak akan mengerek naik inflasi sehingga mampu membawa kabar gembira untuk European Central Bank (ECB).

Inflasi di 18 negara ini hanya mampu bertengger di bawah 1% sejak Oktober tahun lalu, atau berada di kategori bahaya, jauh dari target ECB yaitu di bawah 2%.

Meskipun begitu, kenaikan inflasi tidak serta merta bisa menggenjot ekonomi zona euro karena beberapa pihak, termasuk International Monetary Fund (IMF) mendesak ECB untuk mempertimbangkan penggunaan quantitative easing (QE) guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

“Walaupun kenaikan inflasi akan mengurangi beban ECB dalam jangka pendek, rendahnya pertumbuhan dan inflasi inti masih membutuhkan langkah akomodasi moneter lebih lanjut,” ungkap Luigi Speranza, ekonom BNP Paribas.

Nyatanya zona euro hanya mampu terdongkrak 0,2% pada kuartal I/2014 dan indeks gabungan juga terkoreksi ke level terendah sejak Desember 2013.

 

Revisi Ekonomi AS

Investor juga masih menunggu koreksi pertumbuhan ekonomi AS untuk ketiga kalinya pada kuartal I/2014, setelah direvisi terkoreksi 1% dari 0,1% estimasi awal.

Risiko keterpurukan ekonomi lebih jauh terhadap ekonomi memang sudah terprediksi, apalagi World Bank jelas-jelas memangkas proyeksi perekonomian AS menjadi 2,1% pada tahun ini dari 2,8%.

Jika dirinci, estimasi pendapatan dari sektor kesehatan bakal turun 2% pada kuartal I/2014 dari kuartal sebelumnya atau naik 2,9% year-on-year (yoy).

Sejak kuartal IV/2013, permintaan jasa kesehatan berperan dalam memacu belanja konsumen, yang terhitung sebesar 2/3 dari aktivitas ekonomi AS.

Selain konsumsi kesehatan, peluang koreksi pertumbuhan domestik bruto (PDB) juga masih besar.

Pasalnya, ekonom memprediksi estimasi pemerintah terkait defisit neraca perdagangan pada Mei tahun ini akan membengkak.

Namun, indikator ekonomi lainnya, termasuk data tenaga kerja, manufaktur, dan jasa, justru menunjukkan penguatan signifikan.

Hal itu mengindikasikan perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam ini pada 3 bulan pertama tahun ini bersifat sementara.

Pada pasar mata uang, dolar terkoreksi terhadap yen dan melambat terhadap euro menjelang pengumuman PDB AS kuartal I/2014.

Dolar merosot 0,1% terhadap yen menjadi 101,9 yen sedangkan naik terhadap euro menjadi US$1,36.

Sejumlah analis meyakini adanya penurunan lebih tajam terhadap PDB AS sehingga memperkuat ekspektasi the Fed tidak terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno
Sumber : Bloomberg/Reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper