Bisnis.com, JAKARTA - Libya telah kehilangan US$30 miliar atau Rp360 triliun (asumsi Rp12.000/US$) selama protes di ladang minyak dan terminal ekspor selama 10 bulan.
Namun, seorang pejabat bank sentral Libya menyatakan cadangan devisa negara tersebut masih cukup untuk membuat negara itu tetap berjalan.
Gelombang protes yang terjadi di fasilitas minyak telah mengurangi produksi minyak negara Afrika Utara itu menjadi kurang dari 200.000 barel per hari turun dari 1,4 juta barel per hari pada Juli 2013 sebelum serangan dimulai.
Protes adalah bagian dari kekacauan yang lebih luas di negara Afrika Utara itu sejak penggulingan Muammar Gaddafi pada 2011.
Pemerintah tidak mampu mengendalikan milisi dan suku bersenjata yang membantu menggulingkan Gaddafi tapi sekarang merebut ladang minyak atau lembaga negara akan membuat tuntutan politik atau keuangan .
"Kerusakan negara sekarang telah terjadi setelah lebih dari 10 bulan, Libya telah kehilangan tidak kurang dari US$30 miliar," ujar Musbah Alkari, direktur departemen cadangan bank sentral, kepada Reuters.
Cadangan saat ini sekitar US$110 miliar, turun dari sekitar US$130 miliuar pada musim panas lalu ketika protes dimulai.
Situasi bisa bertambah buruk dalam beberapa hari ke depan.
Perusahaan minyak negara National Oil Corp (NOC) mengatakan pada hari Rabu bahwa mungkin terpaksa menggunakan minyak mentah dari ladang minyak lepas pantai kedua, sejauh ini tidak terpengaruh oleh protes, untuk memberi makan kilang dalam negeri. Itu bisa berarti Libya berhenti mengekspor minyak untuk pertama kalinya sejak 2011.
Libya Kehilangan Pendapatan Rp360 Triliun dari Minyak Selama 10 Bulan
Libya telah kehilangan US$30 miliar atau Rp360 triliun (asumsi Rp12.000/US$) selama protes di ladang minyak dan terminal ekspor selama 10 bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Konten Premium