Bisnis.com, JAKARTA—Bank Mandiri menyatakan sikap menghormati keputusan terkait penyitaan aset Bank Mandiri oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada kasus wanprestasi Negotiable Certificate Deposite (NCD) milik Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), pada 20 Mei lalu.
“Pada prinsipnya Bank Mandiri menghormati proses hukum yang berlangung, termasuk sita eksekusi oleh APHI,” kata Sekretaris Perusahaan Bank Madndiri, Nixon LP Napitupulu kepada Bisnis.com, Rabu (28/5/2014).
Meski demikian, Nixon menyatakan bahwa mengingat dalam pokok perkara pemalsuan dokumen oleh sindikat yang merugikan APHI sebagaimana terbukti dalam proses pidana yang telah inkracht , Bank Mandiri pada hakikatnya juga menjadi korban.
“Maka kami berharap hendaknya APHI juga menghormati proses gugatan perdata yang berlangsung di tingkat kasasi terhadap para pelaku tersebut,” katanya.
Kasus wanprestasi Bank Mandiri dalam kewajibannya membayarkan kerugian NCD APHI memasuki babak baru. PN Jaksel kembali mengabulkan permohonan sita eksekusi oleh kuasa hukum APHI, Chris Butarbutar.
“PN Jaksel telah melakukan sita eksekusi aset Bank Mandiri di Jalan Mampang Prapatan Raya No 61, sesuai dengan penetapan sita yang dilaksanakan pada 20 Mei lalu,” kata Chris kepada Bisnis, Senin (26/5/2014).
Sebelum eksekusi aset di Jaksel, pada 2012 PN Jaksel juga melakukan sita eksekusi aset Bank Mandiri yakni tanah dan gedung di Jalan MH Thamrin No 5, Menteng Jakarta Pusat yang dilaksanakan oleh PN Jakpus pada 13 Agustus 2012.
Penyitaan yang dilakukan PB Jaksel atas dua aset milik Bank Mandiri, dilakukan sebagai kompensasi atas kerugian yang ditanggung APHI atas sikap wanprestasi pencairan NCD beserta bunga dengan nilai Rp89 miliar. Sebelum melakukan penyitaan, PN Jaksel telah lebih dulu menyampaikan teguran kepada Bank Mandiri sebanyak tiga kali.
“Namun manajemen Bank Mandiri enggan melaksanakan putusan pengadilan tersebut dengan sukarela, padahal keputusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah),” kata Chris.
Menurut catatan APHI, kasus wanprestasi Bank Mandiri terhadap APHI dimulai pada 2012 lalu, saat APHI menginvestasikan dananya, membeli 10 lembar NCD di Bank Mandiri Cabang Panglima Polim dengan nilai masing-masing Rp5 milyar beserta bunga 16,75%, jangka waktu 360 hari.
Setelah setahun dan dekat masa jatuh tempo pembayaran, APHI meminta manajemen memindahbukukan NCD ke rekening miliknya, tetapi Bank Mandiri menolak permintaan ini. Lalu, diketahui NCD milik APHI telah dijadikan jaminan kredit, yakni dalam surat Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) antara Bank Mandiri dengan alm Yulianus Indrayana, Ismail P Syafuddin, Rahadian Tarekat, dan Kuncoro Harvomukti.
Bahkan, diketahui juga Bank Mandiri cabang terkait menerbitkan surat pernyataan (dipalsukan) yang menerangkan Ketua Umum APHI, Adiwarta Adinegoro, menjamin pembayaran keempat nama yang telah disebut sebelumnya, maka hal ini dilaporkan kepada Polda Metro Jaya.
Selanjutnya, laporan kasus ini dibawa ke PN Jaksel dan pada 7 September 2004, Kepala Cabang Bank Mandiri Panglima Polim terbukti bersalah telah melakukan pemalsuan dan menggadai NCD milik APHI, dijatuhi hukuman penjara dua tahun.
Namun setelah keputusan tersebut, Bank Mandiri tetap menolak mencairkan NCD milik APHI sehingga dinilai wanprestasi. Hasil tersebut berlanjut ke pengadilan, dan 2007 diputuskan bahwa Bank Mandiri harus membayar Rp89 miliar dan dikuatkan putusan Mahkamah Agung pada 2010.
Direktur Eksekutif APHI, Purwadi Soeprihanto menilai pihaknya masih menunggu penetapan lelang oleh PN Jakpus dan Jaksel atas dua aset yang telah disita. “Jika telah ditetapkan jadwal lelang dan Bank Mandiri tidak merespon, maka aset tersebut akan ditawarkan ke publik dengan nilai taksiran sekitar Rp100 miliar. Kelebihan nilai jual aset yang didapat, terlebih dahulu dibayarkan kewajiban Bank Mandiri dan sisanya dikembalikan,” kata Purwadi.
Terkait pemilihan dua lokasi sita eksekusi aset, menurut Purwadi didasarkan pada kesesuaian nilai aset dengan objek yang disita. Meski demikian, sebelum melakukan sita, APHI dan pengacaranya telah memastikan kepemilikan aset dengan melakukan pemeriksaan berkas dan sertifikat tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).