Bisnis.com, JAKARTA — Pengadilan Niaga Jakarta menolak permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap PT Babat Kukui Energi yang diajukan PT Supra Indodrill terkait kewajiban sebesar Rp23,56 miliar.
Dalam sidang yang digelar Senin (7/4/2014), Hakim Ketua Bambang Koestopo menerangkan keberadaan utang dinilai tidak sederhana. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujarnya dalam amar putusan.
Hakim menuturkan bukti-bukti pemohon tidak menjelaskan kapan utang jatuh tempo. Kendati ada somasi dari Indodrill kepada termohon, tapi tidak ada pengakuan dari Babat Kukui Energi (BKE) atas utang tersebut.
Majelis hakim juga mengatakan kreditur lain dikesampingkan karena tagihannya tidak diakui debitur, sehingga klaim dianggap bersifat sepihak.
Atas putusan ini, kuasa hukum BKE Saut M. Pasaribu dari MC LAW Attorney at Law menyambutnya dengan baik. “Memang pembuktian mereka tidak lengkap,” tuturnya usai persidangan.
Dihubungi terpisah, kuasa hukum Indodrill Pamela Bianca dari kantor hukum PM2 & Partners mengungkapkan kemungkinan akan mengajukan permohonan baru. Permohonan bakal dilayangkan setelah mengkaji putusan pengadilan.
“Waktu jatuh tempo adanya di perjanjian, bukan di pengakuan utang. Perjanjian yang ada waktu jatuh tempo malah tidak dipertimbangkan,” paparnya kepada Bisnis, Senin (7/4).
Oleh karena itu, Pamela memandang putusan tersebut janggal dan berencana melaporkan majelis hakim ke Komisi Yudisial (KY). Majelis hakim juga dinilai tidak mempertimbangkan bukti adanya kreditur lain.
Perkara ini bermula ketika Indodrill mengklaim BKE memunyai utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sejumlah Rp23,56 miliar. Utang muncul dari sejumlah perjanjian sewa rig serta alat berat yang dilakukan kedua perusahaan. Berbagai kesepakatan tersebut ditandatangani pada 2000 hingga 2005.
Namun, dalam perjalanannya ternyata termohon, yang bergerak di pertambangan minyak dan gas bumi, tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk membayar biaya sewa alat.
Menurut Supra Indodrill, yang bergerak di penyewaan alat berat, BKE pernah mengirimkan permohonan keringanan pembayaran utang. Surat itu dilayangkan pada 17 Juni 2011.
Pada 11 Desember 2012, termohon kembali mengajukan usulan baru untuk pembayaran utang. Kedua surat ini dipandang pemohon sebagai bentuk pengakuan adanya utang.
Pemohon menuturkan tunggakan utang-utang termohon mengganggu kelangsungan usaha Supra Indodrill. Adapun utang Rp23,56 miliar tersebut terdiri dari sisa pembayaran sewa alat sebesar Rp5,9 miliar, peralatan yang tidak dikembalikan senilai Rp6,16 miliar, perbaikan alat-alat yang rusak Rp1 miliar, serta denda atas terlambatnya pembayaran sewa sejumlah Rp10,42 miliar.
Dalam permohonannya, Supra Indodrill menyertakan Suffendi, Gendut Wahyudi, dan Ade Suryana sebagai kreditur lain dengan total tagihan Rp10,2 juta. Ketiganya merupakan mantan karyawan BKE yang bekerja sebagai driller atau pengebor.
Pemohon menambahkan BKE tidak mengembalikan beberapa alat berat mereka, diantaranya rig. Pamela juga menyatakan dua perusahaan kliennya terpaksa tutup karena kondisi keuangan terpengaruh tunggakan termohon.