Bisnis.com, JAKARTA—Merasa dirugikan dengan beberapa pasal dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bachtiar Abdul Fatah yang terjerat kasus korupsi proyek bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia, mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Seperti dilansir berita Mahkamah Konstitusi, General Manager Sumatera Light South PT Chevron itu merasa dirugikan terkait Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH).
Permohonan Bachtiar, yang diwakili kuasa hukumnya Maqdir Ismail, terdaftar dengan No. 18/PUU-XII/2014. Sidang perdana telah digelar pada Kamis (13/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Bachtiar (pemohon), Pasal 59 ayat (4) UU PLH memungkinkan instansi yang berwenang tidak/belum memberikan izin kepada pihak penghasil limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) untuk mengelola limbah dengan alasan-alasan tertentu.
Pasal tersebut berbunyi, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.” Pasal ini merupakan salah satu pasal yang menjerat Bachtiar, yang didakwa tidak memiliki izin untuk melakukan bioremediasi.
Menurut pemohon, ketentuan dalam Pasal 59 ayat (4) itu bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1) UU PLH.
Pasal 59 ayat (1) itu mewajibkan setiap orang yang menghasilkan limbah B3 harus melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Hal itu diartikan pemohon penghasil limbah harus mengolah limbah B3 yang dihasilkannya bila tidak ingin dikenai sanksi pidana, ada atau tidaknya izin.
“Keberadaan kedua norma yang bersifat kontradiktif tersebut telah menciptakan situasi di mana penghasil limbah B3 yang belum memiliki izin pengolahan izin B3 misalnya dikarenakan izin tersebut sedang diurus perpanjangannya di instansi terkait, terpaksa tetap mengelola limbah B3 tersebut sebab ada ancaman pidana berdasar Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 103 UU PLH,” kata Maqdir seperti Bisnis kutip dari berita MK.
Oleh karena itu, tambahnya, akibat belum adanya izin untuk mengolah limbah B3, maka penghasil limbah dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU PLH yang mensyaratkan adanya izin.
Situasi inilah yang menyeret Bachtiar disidik dan didakwa Kejaksaan dengan tuduhan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Bachtiar dinilai telah melakukan proyek remediasi yang dikerjakan atas tanah yang terkontaminasi minyak limbah B3 yang dihasilkan PT CPI dilakukan tanpa izin.
Proses hukum kasus proyek bioremediasi Chevron sudah berlangsung lebih dari 2 tahun dan saat ini telah memasuki tahap banding di Pengadilan Tinggi (PT).
Bachtiar dijatuhkan vonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor, lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Dalam petitum permohonan, pemohon yang meminta MK menyatakan Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 102 UU PLH bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.