Bisnis.com, JAKARTA - Proposal mediasi PT Surya Panen Subur (SPS) yang mengusulkan 5.000 hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU)-nya di wilayah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) untuk areal konservasi bakal ditolak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Asisten Deputi Penyelesaian Sengketa Lingkungan KLH, Sisilia, usai mengikuti sidang mediasi gugatan KLH kepada PT SPS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengungkapkan. "Soalnya, proposal SPS tidak menjawab gugatan," tandasnya, Jumat (14/2/2014).
Kuasa hukum PT SPS, Rivai Kusumanegara, menilai penolakan proposal konservasi 5.000 hektare oleh pihak KLH dan lebih membahas ganti rugi uang dan pemulihan lahan terbakar, kiranya tidak bijak dan sulit diterima akal, karena yang patut membayar ganti rugi tersebut adalah siapa yang melakukan pembakaran.
Pasalnya, pembakaran itu bukan dilakukan oleh PT SPS. Sebaliknya, SPS merupakan korban yang telah dirugikan akibat kebakaran itu. "PT SPS sudah sejak 2 tahun lalu sudah melakukan pemulihan tanaman dan perawatan yang diperlukan," ungkapnya.
Menurut Rivai, upaya tersebut telah dilakukan pihak PT SPS karena lokasi terbakar adalah lahan usahanya. "Bisa dilihat di lapangan, di mana tanaman sawit dan pakis-pakisan (cover crop) di areal yang terbakar, kini tumbuh subur," katanya.
Sejak awal, SPS sudah menyerahkan sejumlah bukti tertulis, saksi, maupun ahli dari akademisi dan balai penelitian pemerintah yang merangkan, SPS tidak pernah membakar lahan dan tidak terjadi kerusakan tanah berdasarkan hasil uji laboratories.
"Jadi kami yakin pada saatnya kebenaran akan terungkap sepanjang proses hukum dijalankan secara obyektif tanpa ada tekanan atau intervensi pihak manapun," tegas.
Rivai menilai, persoalan ini lebih bermuatan politis dibanding penegakan hukum, dengan mencermati upaya Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Asing yang ingin mengkonservasi Rawa Tripa sejak 2011 lalu.
Sebagai jalan tengah dan komitmen untuk berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hidup, maka PT SPS menawarkan kerjasama konservasi lebih dari 5.000 hektare dari 12.000 hektare total HGU-nya yang juga didukung BKSDA Aceh, akademisi Unsyiah dan LSM atau kelompok masyarakat penggiat lingkungan. Namun tawaran tersebut ditolak KLH, padahal program konservasi tersebut bermanfaat nyata bagi masyarakat Aceh.
Dengan gugatan KLH bernilai Rp300 miliar lebih, tuntutan pidana korporasi dan pribadi, serta upaya UKP4 pada 2012 agar izin PT SPS dicabut, maka Rivai menilai pemerintah lebih mengutamakan isu yang digulirkan LSM Asing daripada memberi keadilan bagi perseroan.
Padahal pengusaha sawit telah memberi pendapatan bagi negara, membuka ribuan kesempatan kerja, dan menggerakan roda perekonomian setempat, serta kemanfaatan bagi masyarakat Aceh. "Kiranya ini akan menjadi catatan sejarah kelam bagi penegakan hukum dan iklim investasi di Indonesia," pungkas Rivai.
Kuasa hukum KLH, Bobby Rahmat, mengatakan proses mediasi hampir rampung dilakukan dan hanya menyisakan 4 hari lagi untuk menjawab proposal mediasi yang diajukan PT SPS atas gugatan sebesar Rp 300 miliar lebih itu.
"Kalau nilai gugatan SPS sudah ada, tapi kan sejauh ini respon mereka dalam mediasi tidak menjawab gugatan," ucap Bobby.
Sisilia menegaskan, saat ini sikap KLH di posisi menolak. Namun demikian, dirinya berjanji akan menyampaikan perkembangan hasil sidang mediasi hari ini kepada pimpinannya di KLH untuk diambil putusan menolak atau menerima proposal konservasi 5 ribu hektare lahan HGU yang diajukan PT SPS itu.
"Batas waktu 40 harinya sampai Senin-ya, Senin besok. Kalau Senin besok kami menyatakan deadlock antara penggugat dengan tergugat dan dinyatakan oleh hakimnya deadlock, maka kita ke pokok perkara. Tentunya kita maju," tandas Sisilia.
Kasus gugatan KLH sebesar Rp Rp 302 miliar lebih kepada PT SPS bernomor 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel ini kembali bergulir dan sudah memasuki babak mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dipimpin Mediator Yuningtyas Upiek, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Timur menolak gugatan ini karena bukan termasuk wilayah hukumnya