Bisnis.com, JAKARTA— Isu banyaknya warga yang terpaksa menjadi pelaju akibat ketidakseimbangan ekonomi menjadi sorotan utama berbagai media nasional hari ini, Selasa (10/12/2013).
Selain itu, juga ada persoalan kekeringan dana di perbankan lokal dan sambutan positif sejumlah kalangan atas kebijakan ekonomi yang baru saja dikeluarkan pemerintah.
Berikut ini ringkasan berita-berita utama media Ibu Kota:
Pembangunan Tak Berimbang
Banyak warga beralasan mereka terpaksa menjadi pelaju karena menginginkan bekerja di kota besar akibat minimnya pekerjaan di tempat asal. Hal ini memperlihatkan fenomena pelaju muncul karena pembangunan yang kurang berimbang. Pusat-pusat ekonomi hanya terletak di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Jika penyebaran ekonomi sangat rata maka fenomena itu tak akan terjadi (KOMPAS).
Multifinance Buru Utang ke Luar Negeri
Perusahaan pembiayaan yang mencari dana hingga luar negeri makin ramai. Kekeringan dana di perbankan lokal jadi alasannya mencari dana ke luar negeri. Pada sisi lain, perbankan lokal sedang mengerem laju kredit, terutama ke sektor korporasi guna menekan risiko kredit bermasalah (KONTAN).
Paket Kebijakan Ekonomi Lanjutan Disambut Positif
Sejumlah kalangan menyambut positif paket kebijakan ekonomi lanjutan yang diluncurkan pemerintah, Senin (9/12/). Paket kebijakan yang akan mulai diberlakukan pada awal 2014 itu bertujuan untuk menurunkan impor dan mendongkrak ekspor. Dengan keluarnya paket kebijakan lanjutan ini—dan juga paket kebijakan yang diluncurkan Agustus lalu—serta didukung perbaikan kondisi ekonomi global, neraca perdagangan Indonesia diharapkan dapat mencatatkan surplus pada tahun depan. (INVESTOR DAILY).
Kebijakan Salah Sasaran Lagi?
Pemerintah kembali mengeluarkan paket kebijakan untuk memperbaiki defisit transaksi perdagangan. Caranya, dengan menaikkan Pendapatan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap barang impor tertentu yang sifatnya konsumtif menjadi 7,5% dari semula hanya 2,5%. Hal ini dianggap efektif bahkan diklaim dapat mengurangi defisit neraca perdagangan hingga US$3 miliar hingga US$4 miliar. Sementara kalangan pengamat menilai kebijakan itu bukan obat yang manjur (NERACA).