Bisnis.com, JAKARTA - Apa yang terjadi jika sebuah negara tanpa penegak hukum? Mampukah Anda beli sarapan pagi, ngopi, dan membeli BBM untuk motor butut Anda? Berapa besar uang yang dibawa pulang setelah sehari penuh anda bekerja?
Sungguh sangat rumit, negara tanpa penegak hukum akan menjadi hutan belantara dimana posisi penghuni makluk yang kuat akan melibas yang lemah. Dangkal peraturan, minim realisasi dan membludaknya korban dari ketidakpastian sistem negara dalam menjaga kekayaannya.
Hukum telah serasa telah mati meninggalkan para pencetusanya. Benteng terakhir sebagai upaya penegak hukum telah dijangkiti oleh virus yang mematikan yakni korup.
Korupsi di negeri tetangga sangat menarik sebagai bahan telaah, pertimbangan dan pendidikan bagi anak cucu negari ini. Segudang kasus korupsi yang lama belum terselesaikan muncul lagi dengan kasus baru yang tidak kalah seru.
Diawal kasus-kasus korupsi menerpa sejumlah orang yang ada di legislatif, dan eksekutif. Legislatif yang semestinya bertugas memberikan pengawasan justru menjadi bagian persoalan korupsi. Sejumlah kepala daerah yang terjangkit virus sama yakni sikap korup.
Virus korup adalah virus yang sangat membahayakan. Membahayakan bagi anak, ibu, bapak, cucu dan seluruh penghuni negeri ini.
Jika sebuah negara tak bisa membendung dan memberantas korupsi dengan maksimal, maka kelangsungan negara tersebut tinggal menunggu hari saja.
Demikian pula sebaliknya, negara mampu menegak supremisi hukum, akan menjadi negara yang sangat kuat dan adidaya. Akan menjadi penguasa seantero dunia. Dan jika disebutkan namanya saja orang akan berpikir panjang jika akan melakukan perbuatan yang bersinggungan dengan hukum.
Korupsi dilakukan bukan karena ketidaktahuan tetapi ada faktor kesengajaan. Sengaja melakukan penggelembungan anggaran proyek-proyek yang sedang dikerjakan dan memanipulasi data laporan kegiatan proyek yang tidak semestinya benarnya.
Dengan kata lain, pelaku korup baik penjabat atau penghianat adalah sama-sama penjilat. Penjabat yang penjilat karena “mampu” dengan sengaja mengaburkan laporan kekayaannya dari yang tidak realistis menjadi realitis menurut versi para koruptor. Penghianat dan penjilat karena memang sudah tak terpisahkan ibarat dua sisi mata uang. Penghianat akan selalu mencari celah bagaimana menyiasati hukum dengan kecurangannya.
Tontonan besar yang disajikan media terkait tertangkapnya Ketua MK menggetarkan seluruh isi bumi ini. Tontotan yang sekaligus menjadi tuntutan bagi para penerus kepemimpinan bangsa agar tidak melakukan hal yang serupa, sehingga rakyat bisa dengan mudah mencernak kalimat yang disampaikan, baik melalui perpu, permen atau aturan lain yang mengikat sebagai bentuk keseriusan pejabat negara.
Dalam kasus tertangkapnya ketua MK atas dugaan suap rakyat melihat seperti hal yang mustahil, tetapi hal itu adalah sebuah fakta yang benar adanya. Rakyat sebagai punokawan hanya bisa menonton, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai tembok pertahanan terakhir penegakan hukum terbentur musibah.
Ketika pertama ini muncul, banyak masyarakat yang tidak percaya, tetapi setelah beberapa kali stasiun televisi terus menyiarkan dan memberitakan dengan kabar serupa, rakyat pun semakin tidak percaya. Pasalnya, MK sebagai garda pertahanan terakhir untuk mencari keadilan diduga telah terkena suap.
Rakyat tak bisa ngupi dengan santai, sarapan tak lagi sempat, jika dipaksa sarapan maka bahan bakar tak terbeli. Kerja seharusnya bisa membawa pulang uang, namun justru utang yang diterima. Rakyat kini pun ikut memikirkan masa depan negara ini.
Kasus MK jelas sangat memukul telak penegak hukum, kemana lagi rakyat akan mencari keadilan?
Jjika yang ditunjuk menjadi “wakil tuhan” saja diduga terima suap sebagai imbal balik “penyelesaian” masalah pilkada didaerah. Mungkin pantasnya para koruptor itu dimiskinkan tanpa sisa, atau kalau memang belum sepadan dengan perbuatannya dihukum mati, agar tidak membuat masyarakat resah.
Pengirim:
Hendriwan Angkasa, Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Selatan