Bisnis.com, PEKANBARU—Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan modal awal Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berlaku efektif awal Januari 2015 sekitar Rp50—Rp100 juta.
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK mengatakan OJK masih menggodok beberapa persiapan terkait LKM, termasuk soal modal awalnya.
“Modal awal nanti kami standardisasi, apa Rp100 juta, apa Rp50 juta minimal. Itu sedang kami hitung,” ujarnya ketika ditemui di sela-sela acara Rakernas Kadin di Pekanbaru, Selasa (17/9/2013).
OJK berharap keberadaan LKM bisa menggantikan peran rentenir di daerah-daerah, dengan menyalurkan kredit dengan suku bunga yang relatif rendah. Sumber dananya nanti bisa dari pemda yang ingin menyalurkan dana bergulir, maupun tabungan dari masyarakat itu sendiri.
“LKM simpel sehingga mengajak petani menabung, dan LKM bisa menyalurkan kredit. Nanti akan kami batasi juga bunganya. Kalau BPR dan perbankan konvensional kan kadang-kadang bunganya mahal, apalagi rentenir,” ujarnya.
Berdasarkan UU No.1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), yang dimaksud LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat.
Pemberian jasa tersebut bisa melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, atau pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
Badan hukum sebuah LKM nantinya hanya boleh dalam bentuk koperasi atau Perseroan Terbatas (PT). Dalam PT itu, sedikitnya 60% saham dimiliki oleh pemda kabupaten/kota atau badan usaha milik desa/kelurahan.
Ketentuan mengenai besaran modal LKM diatur dalam Peraturan OJK. Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari OJK. Menurut Firdaus, mulai 1 Januari 2015 nanti, sudah bisa dimulai pendaftaran LKM ke OJK.
“LKM ini selain untuk petani, bisa juga untuk warung-warung, toko, masyarakat umum,” tambahnya.
Masih berdasarkan UU, segala pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh OJK, yang kemudian didelegasikan kepada pemda kabupaten/kota. Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota.
"Tapi OJK harus bikin standar pengawasannya seperti apa. Jadi kami sekarang akan persiapkan untuk mendidik SDM-SDM di daerah, kepada mereka yang nanti diberikan wewenang oleh bupati/walikota untuk mengawasi LKM-LKM di daerah,” jelasnya.
Terkait dengan jumlah LKM di Indonesia, Firdaus mengakui jumlahnya memang tidak pasti. Yang jelas, jumlahnya memang sangat banyak, diperkirakan ada lebih dari 500.000 LKM.
Pada kesempatan yang sama, Aviliani, ekonom INDEF yang juga Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) berpendapat LKM tidak cocok untuk sektor pertanian, tapi lebih cocok untuk sektor perdagangan dan industri pengolahan.
"Kalau LKM untuk pertanian susah karena bunganya gede banget. Kalau LKM itu bunganya di atas 20%. Kalau bunganya dibatasi 6% dan pemerintah harus mensubsidi 13%, jadi kemahalan. Menurut saya LKM lebih cocok untuk nonpertanian. Kalau pertanian lebih cocok sistem koperasi atau bank,” ujarnya.
Adapun UU LKM ini disahkan pada 8 Januari 2013 dan mulai berlaku dua tahun setelahnya, atau pada 8 Januari 2015.