Bisnis.com, Singapura - Apakah Indonesia siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)? Pertanyaan itu selalu muncul meningat tenggatnya tinggal 2 tahun lagi. Jawabannya coba dicari melalui Network Asean Forum yang digelar mulai hari ini hingga Jumat (23/8/2013) di Singapura.
Namun Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri sudah punya jawaban untuk menghadapi Asean Economic Community (AEC) itu . Ia bilang Indonesia harus menyiasati ini dengan cerdas. Pemerintah tidak melakukan proteksi tetapi justru mendukung industrinya dengan memberikan insentif fiskal.
Misalnya, perusahaan yang melakukan R & D bisa dapat double deduction. Penempatan R & D harus harus ada di Indonesia mengingat pasarnya ada di Tanah Air.
Ia memberi contoh soal Balai Latihan Kerja (BLK) di mana mereka yang lulus dari sana harus di-training lagi di perusahaan mengingat alat di BLK tidak cocok dengan perusahaan. Itulah sebabnya Chatib meminta perusahaan yang melakukan training. "Diberikan double deduction, jadi mereka nggak usah di-retrain."
Rencana Chatib itu dalam rangkaian mempersiapkan Indonesia tidak gagap menghadapi MEA. Negara lain tentu punya cara sendiri untuk mempersiapkannya.
MEMBENTUK INTEGRASI
Yang jelas, pemerintah dan para pelaku bisnis di Asean terus melakukan komunikasi yang intens. Salah satunya dengan forum yang digelar oleh CIMB ASEAN Research Institute (CARI) di Singapura ini. Forum ini bertujuan untuk membentuk integrasi ekonomi Asean sesuai dengan target MEA pada 31 Desember 2015.
Selama 30 tahun terakhir, Asean telah berkembang menjadi pemain utama di arena internasional. Namun, sebagian besar perusahaan belum memberikan rencana sesuai tujuan AEC. "Kurang dari 20% dari mereka yang memiliki rencana untuk AEC 2015."
Itulah sebabnya forum ini perlu digelar yang fokus khusus pada mengidentifikasi hambatan dan rintangan yang menghambat perdagangan bebas dari enam sektor diperjuangkan dalam konteks AEC.
Keenam sektor tersebut adalah penerbangan, kesehatan, infrastruktur, pasar modal, jasa keuangan dan telekomunikasi.
Hasil dari diskusi ini akan tercermin dalam rekomendasi kebijakan yang akan diajukan ke pemerintah dari 10 negara anggota Asean.
Forum ini dihadiri lebih dari 200 delegasi dan peserta dari seluruh dunia termasuk pemimpin bisnis dan pengusaha, pembuat kebijakan, ekonom dan media.
Dari Indonesia akan tampil Menteri Pariwisata, Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu, Patrick Walujo (Northstar Group), Aloke Lohia (Indorama Ventures), Budi Sadikin (Bank Mandiri), Emirsyah Satar (Garuda Indonesia), dan Alexander Rusli (Indosat).
Pembicara lainnya adalah dari Malaysia akan tampil Tony Fernandes (Air Asia), Nazir Razak (CIMB), dan Azman Mokhtar dari Khazanah Nasional. Sementara itu, dari Thailand akan tampil Chartsiri Sophonpanich (Bangkok Bank).
BEBAS BARANG
Salah satu pilar utama MEA adalah aliran bebas barang, yaitu pada 2015 perdagangan barang di kawasan Asean dilakukan secara bebas tanpa mengalami hambatan, baik tarif maupun nontarif.
MEA menerapkan skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang sebelumnya sudah diterapkan saat Asean Free Trade Area (AFTA), yaitu penurunan tarif dilakukan secara bertahap untuk jenis barang tertentu yang dilakukan dalam rentang waktu yang telah disepakati bersama.
Adapun liberalisasi sektor jasa, dalam cetak biru MEA 2015 bertujuan menghilangkan hambatan penyediaan jasa oleh pemasok ataupun pendirian perusahaan jasa baru lintas negara di kawasan Asean. Liberalisasi tersebut dilakukan melalui mekanisme perundingan Asean Framework Agreement on Services (AFAS).
Bila Indonesia tidak siap, maka aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan modal, terlihat sebagai ancaman daripada peluang. Berdasarkan data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, kualitas SDM Indonesia masih berada di peringkat 121, dari 187 negara. Adapun, Singapura berada di peringkat 18, Brunei Darussalam peringkat 30 dan Filipina berada di peringkat 114.
PENGALAMAN BURUK
Indonesia punya pengalaman buruk terhadap ketidaksiapan dalam menghadapi kerja sama perdagangan bebas, satu contoh dalam kesepakatan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) pada 2003, sehingga muncul tuntutan untuk negosiasi ulang bagi beberapa sektor.
Kita sebenarnya tidak perlu khawatir secara berlebihan bahwa pada 2015 nanti Indonesia bakal diserbu produk murah dan tenaga kerja asing dari negara anggota Asean. Penghapusan hambatan tarif pada MEA, berlangsung secara bertahap. Artinya saat ini tarif yang berlaku antarnegara Asean kebanyakan sudah 0%.
Demikian pula dengan tenaga kerja. Kesepakatan pada MEA hanya terbatas pada mutual recognition agreement (MRA) untuk beberapa tenaga profesional dan terdidik. Namun, bukan berarti kita tidak harus bersiap diri untuk menyelamatkan pebisnis dari pasar bebas tersebut. Kementerian Perindustrian mengklaim bahwa sebagian besar industri nasional siap bersaing di kancah Asean.
Untuk beberapa industri yang masih perlu penguatan daya saing, seperti otomotif, alas kaki, elektronik dan pakaian jadi, pemerintah juga memberikan insentif agar sektor tersebut mampu menghadapi industri sejenis di Asia Tenggara. Namun, dunia usaha sendiri sebagian masih ragu akan kesiapan tersebut.
Dalam Network Asean Forum ini para pembicara akan menyampaikan sejauh mana persiapan mereka sehingga hambatan penyediaan jasa oleh pemasok ataupun pendirian perusahaan jasa baru lintas negara di kawasan Asean berjalan mulus.
Baca Juga:
ADU STRATEGI GARUDA DAN AIR ASIA, MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN