Bisnis.com, MEDAN - Realisasi inflasi pada Juli 2013 tercatat paling buruk sejak 14 tahun terakhir tepatnya sejak 1999. Pada Juli 2013 laju inflasi nasional mencapai 3,29% dan year on year Juli 2013 terhadap Juli 2012 telah mencapai 8,61%.
Gunawan Benjamin, Pengamat Ekonomi Danareksa Sumut, mengatakan realisasi inflasi Juli 2013 lebih buruk dari ekpektasi paling pesimistis sejumlah pengamat termasuk Bank Indonesia. Laju inflasi Juli yang mencapai 3.29% melebih estimasi pengamat yang tidak melewati 3%.
Menurutnya, pemerintah gagal menjaga stabilitas harga barang karena bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan justru pada saat konsumsi masyarakat merangkak naik yang bertepatan dengan Ramadan, masa masuk sekolah dan lebaran. Volatilitas harga kebutuhan pokok menjadi penyumbang inflasi yang paling besar.
"Dengan kenaikan inflasi ini, maka efektifitas BLSM dalam menyelamatkan daya beli masyarakat bawah menjadi tidak efektif, kenaikan gaji buruh di awal tahun tidak membuat buruh bertambah sejahtera dan parahnya inflasi sudah mengalami kenaikan justru saat kenaikan BBM terus diwacanakan sebelum dinaikkan," jelasnya, Kamis (1/8/2013).
Sementara itu, sambungnya, permasalahan inflasi seolah-olah menjadi beban BI sendiri. Sehingga respon BI dalam menyikapi inflasi dengan menaikkan BI Rate sebenarnya belum menyelesaikan masalah mendasar.
Buruknya infrastruktur yang mejadi pemicu inflasi, kata dia, impor barang kebutuhan yang kronis hingga masalah manajemen pengendalian barang kebutuhan pokok yang buruk di lapangan masih sering ditemukan.
Untuk itu, imbuhnya, jika hanya dengan mengandalkan BI Rate, maka tekanan inflasi akan terus berulang-ulang tanpa adanya penyelesaian masalah yang tuntas.
Belajar dari kisruh impor daging dan bawang baru-baru ini, ujarnya, dimana kenaikan harga selalu diselesaikan dengan cara impor. Padahal yang menjadi masalah mendasar adalah output yang memang bermasalah. Sehingga, tingginya permintaan tidak mampu disediakan oleh produksi dalam negeri.
Dalam jangka panjang, ucapnya, pemerintah harus membenahi mahalnya biaya transportasi serta tata niaga barang yang buruk di Indonesia. Hal itulah yang harus dijadikan prioritas pemerintah ke depan.
Dia menilai impor hanya sebagai alternatif jangka pendek yang seharusnya tidak selalu menjadi jalan keluar untuk mengatasi mahalnya harga kebutuhan masyarakat.
Jika tingginya laju inflasi selalu diatasi dengan menaikkan BI Rate, sebenarnya pihak asing yang akan diuntungkan. Dengan selisih perbedaan suku bunga asing akan menginvestasikan uangnya ke instrumen jangka pendek (Hot Money). Sementara itu justru sektor rill Indonesia malah tertekan.