BISNIS.COM, JAKARTA—Selain memasukkan sistem kuota dalam Pendidikan Kedokteran, Undang-undang Pendidikan Kedokteran (RUU Dikdok) juga harus memastikan kelompok masyarakat miskin bisa masuk ke Fakultas Kedokteran dengan bantuan APBN maupun APBD.
Demikian salah satu kesimpulan dari diskusi mengenai “RUU Pendidikan Kedokteran” yang diselenggarakan DPR hari ini, Selasa (4/6/2013).
Turut menjadi nara sumber dalam diskusi itu Wakil Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ilham Oetama Marsis, pengamat pendidikan kedokteran Dharmayuwati Pane serta anggota DPR Komisi X Jefirstson Riwu Kore.
Menurut Ilham, pemberlakuan sistem kuota dalam penerimaan mahasiswa Fakultas Kedokteran akan membuat rasio kebutuhan dokter dan masyarakat memadai. Dengan demikian, masyarakat akan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
Melalui kuota itu, ujarnya, mereka yang lolos seleksi benar-benar calon dokter yang memenuhi komptensi dokter karena jumlahnya terbatas sesuai dengan kebutuhan.
“Saya berharap sistem kuoat bisa diterapkan dan diatur dalam Undang-undang Pendidikan Kedokteran nantinya. Dengan sistem ini pun mereka yang miskin namun pintar bisa masuk ke Fakultas Kedokteran,” ujarnya. Dia mencontohkan dua negara yang menerapkan sistem kuota seperti di Filipina dan Belanda.
Sementara itu, Dharmayuwati mengatakan sulit untuk dipungkiri bahwa biaya pendidikan kedokteran di Indonesia tergolong mahal.
Bahkan dia menyebutkan ada perguruan tinggi yang memungut uang masuk hingga Rp180 juta per mahasiswa. Namun, setelah selesai kuliah tidak ada jaminan mereka akan bisa langsung berpraktik karena masih banyak prosedur yang harus dilalui.
Terkait dengan kondisi itu, Dharmayu meminta pemerintah menghilangkan komerislisasi pendidikan kedokteran agar tercipta persiangan yang adil. Selain itu mereka yang punya kemampuan intelektual baik harus mendapatkan haknya untuk masuk ke Fakultas Kedokteran, bukan hanya mereka yang berduit.
“Standarisasi biaya pendidikan kedokteran ini diperlukan agar seluruh biaya kuliah menjadi transparan,” ujarnya menegaskan.
Pada sisi lain, Dhrmayuwati juga menyoroti sebagian dokter yang praktik di daerah yang bergaji rendah. Bahkan di daerah tertentu gaji seorang dokter lebih rendah dari gaji perawat maupun gaji guru sekolah dasar.