Jelang akhir pekan lalu, KPK melalui Juru Bicaranya Johan Budi SP telah menetapan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Selain itu Anas juga dicegah dan tangkal (cekal) untuk berpergian keluar negeri.
Hal ini sesuai dengan kebiasaan yang terjadi antara lembaga penegak hukum. Tindakan cekal diawali dengan pemberitahuan melalui telepon dan kemudian diikuti dengan pengiriman surat permohonan secara resmi dari penegak hukum, dalam hal ini KPK kepada Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Anas dijerat dengan pasal 11 atau 12 UU Tipikor dengan dugaan terima sesuatu atau janji, saat itu dia menjabat sebagai penyelenggara negara yakni anggota DPR dari Fraksi Demokrat. KPK menyangka Anas melanggar Pasal 12 Huruf a atau Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 12 UU Pemberantasan Tipikor antara lain menyebutkan, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Huruf a dan b dalam Pasal 12 UU Pemberantasan Tipikor memuat ketentuan pidananya, yakni pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam penyelidikan KPK terkait kasus Hambalang, Anas diduga diberi mobil mewah Toyota Harrier oleh Nazaruddin tahun 2009. KPK telah memperoleh bukti berupa cek pembelian mobil mewah tersebut sejak pertengahan tahun lalu. Cek pembelian ini sempat tidak diketahui keberadaannya.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua tersangka Hambalang, yakni mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng serta Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar. Apa yang dituduhkan KPK terhadap Andi dan Deddy berbeda dengan Anas.
Jika Anas diduga menerima gratifikasi, Andi dan Deddy diduga bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum dan penyalah gunaan wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, tetapi justru merugikan keuangan negara.
Bukti telah ditemukan, dan Anas sudah ditetapkan sebagai tersangka lalu kenapa proses hukum yang akan dijalani oleh anas begitu lambat. KPK seharusnya lebih dalam menyimak perkataan Nazarudin yang berkali kali menyebut nama Anas.
Anehnya Anas sendiri belum bahkan tidak sama sekali pun membantah ocehan Nazar. Jangan-jangan apa yang diucapkan Nazar benar adanya. KPK harus berani mempertemukan atau mengkonfrontir Nazaruddin dan Anas agar jelas semuanya kasus ini.
Membiarkan Anas terlalu lama di luar tanpa proses hukum yang jelas membuat opini publik makin mudah di bentuk bahkan di arahkan pada sikap pembelaan terhadap Anas. Bila KPK serius menangani kasus Hambalang sudah sebaiknya proses tersebut di segerakan bukan lagi mengharapkan opini publik pro atau kontra dengan pengumuman KPK tersebut.
MARISKA MOKODONGAN
Jl. Sreko Utara No.51
Kel. Taratara Satu, Kec. Tomohon Barat,
Kota Tomohon, Sulut 95425