Bukan APBN biasa. Mungkin itu slogan yang pantas dilekatkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Krisis Eropa yang memicu ketidakpastian ekonomi global serta berbagai faktor internal harus diantisipasi dengan berbagai jurus jitu.
September 2011, perekonomian dunia mulai mengalami turbulensi akibat krisis fiskal dan utang di kawasan Uni Eropa. Krisis yang menyandera zona euro itu dipicu kesulitan pemerintah Yunani dalam membayar utang yang mencapai rasio lebih dari 140% dari produk domestik brutonya.
"Mereka mengeluarkan lebih daripada pendapatannya," begitu ucap Hidekazu Tanaka, Team Leader Budget Allocation JICA Technical Cooperation Project baru-baru ini.
Belum lagi gejolak finansial di Amerika Serikat yang ditandai dengan tingginya angka pengangguran dan tegangnya tensi politik di Timur Tengah yang memicu kenaikan harga minyak dunia dan sejumlah komoditas dunia.
Risiko eksternal itu harus dibayar mahal karena berdampak pada perlambatan laju pertumbuhan ekonomi global. Perkembangan krisis Eropa dan Amerika Serikat yang belum menemui kepastian titik temu penyelesaian membuat proyeksi ekonomi dunia makin memburuk.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, pada Oktober, ekspor Indonesia melambat 4,21% dibandingkan dengan realisasi September 2011. Penurunan volume dan nilai ekspor, terutama dari dan ke negara kawasan Eropa dan AS tidak dapat dihindari seiring menurunnya daya beli negara tersebut.
Porsi ekspor Indonesia ke Uni Eropa dan AS memang terbilang kecil, yakni hanya sekitar masing-masing 9% dari total ekspor Indonesia. Yang dikhawatirkan, kalau dampak buruknya merangsek ke emerging country Asia, seperti China dan India, yang porsinya terhadap ekspor Indonesia cukup besar. Maka akan ada second round effect terhadap ekspor Indonesia.
Perlambatan juga terjadi dari sisi investasi fisik yang pada kuartal III/2011 hanya mampu tumbuh 7,1%, padahal pada kuartal II/2011 pembentukan modal tetap bruto bisa melaju di level 9,2%. Arus foreign direct investment diperkirakan sulit diprediksi dan cenderung melambat.
Sektor keuangan juga tak kalah rentan, terutama terkait stabilitas nilai tukar dan pelarian dana asing dari pasar saham dan SUN. Risiko ini menuntut kehati-hatian dan kekompakan otoritas fiskal dan moneter bersama seluruh stakeholder dalam melakukan intervensi atas sinyal-sinyal negatif.
Transmisi krisis dapat terjadi dari sektor perbankan. Meskipun perbankan di Asia telah mengurangi pinjaman dari perbankan dan negara Eropa, penularan tetap dapat terjadi melalui bank-bank asing. Bisa saja mereka tidak melanjutkan pinjaman yang jatuh tempo dan mengurangi kredit di Asia jika mengalami kerugian besar di negara sendiri.
Akan tetapi, sepanjang paruh kedua 2011, perekonomian Indonesia mengalami anomali. Ekonomi tetap melaju 6,5% sepanjang Januari-September 2011, dan diproyeksikan konsisten mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dipatok dalam APBN-Perubahan 2011, yakni 6,5%.
Kinerja yang baik itu dicapai di saat Dana Moneter Internasional memprediksikan ekonomi Eropa hanya dapat tumbuh 1,6% pada 2011 dan merosot jadi 1,1% pada 2012. Negeri Paman Sam juga diproyeksikan IMF hanya tumbuh 1,5% tahun ini dan 1,8% pada 2012.
Jangan pula terlalu optimistis. Sepanjang belum ada kejelasan soal jalan keluar permasalahan utang di Eropa, kondisi ekonomi dunia akan terus mengambang dan risiko krisis masih ada di depan mata.
Bagi Indonesia, risiko krisis 2012 bukan pengalaman pertama dalam menghadapi krisis. Hantaman krisis moneter yang melanda Asia Timur dan Pasifik menenggelamkan kapal republik ke pertumbuhan ekonomi negatif 13,1% pada 1998.
Butuh waktu hampir 10 tahun untuk dapat kembali tumbuh subur dengan laju pertumbuhan ekonomi di atas 6%. Sayangnya, pada 2008 krisis ekonomi global terjadi dipicu subprime mortage crisis di AS. Akibatnya laju ekonomi Indonesia pada 2009 kembali anjlok ke level 4,5% saat ekonomi dunia tumbuh -0,7%.
Kabar baiknya, Indonesia dinilai dapat recovery dengan cukup cepat, bahkan menyusun fundamental makroekonomi yang stabil, sehingga pertumbuhan mencapai 6,1% pada 2010. Namun risiko krisis 2012 ini, menjadi ujian seberapa kuat stabilitas ekonomi makro Indonesia, kebijakan fiskal pemerintah, dan dunia usaha dapat berkolaborasi menangkal krisis.
Tak ingin kecolongan lagi, pemerintah menyusun sejumlah mitigasi krisis dalam APBN 2012. Dari sisi fiskal, telah dirancang kerangka crisis management protocol dan bond stabilization framework apabila terjadi gejolak di pasar keuangan, terutama yang menyangkut stabilitas nilai tukar dan surat utang.
UU APBN 2012 juga memuat tiga pasal yang berkaitan dengan dana mitigasi krisis. Aturan itu menyangkut tentang penggunaan saldo anggaran lebih (SAL) untuk stabilisasi pasar surat berharga negara domestik, penarikan pinjaman siaga dan pengeluaran yang dapat melebihi pagu untuk antisipasi keadaan darurat dengan persetujuan DPR.
Selain SAL, cadangan devisa yang mencapai US$111,31 miliar juga dianggap cukup untuk memitigasi gejolak mata uang. Karena itu dianggap sebagai salah satu pertahanan kita dalam menghadapi gejolak krisis global.
Alarm sistem keuangan dalam APBN 2012 juga diakomodasi melalui kerangka kerja sama Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM). CMIM merupakan kelanjutan kesepakatan Asean+3, Jepang, China, dan Korea Selatan untuk memperkuat kemampuan regional dalam mempertahankan diri terhadap peningkatan risiko dan tantangan di perekonomian global. Jumlah dana yang menjadi modal awal CMIM, yakni sebesar US$120 miliar.
Untuk memitigasi krisis, pemerintah juga telah berupaya untuk memperbaiki postur APBN 2012. Dari total postur belanja yang mencapai Rp1.435,4 triliun, belanja pemerintah pusat mencapai Rp965 triliun dan transfer daerah Rp470 triliun. Belanja APBN 2012 ini naik tiga kali lipat dari posisi 2005.
Akan tetapi, kenaikan anggaran belanja menuntut tata kelola anggaran dan pengawasan proyek yang lebih baik, karena konsumsi pemerintah memegang kontribusi besar dalam membangun kapasitas ekonomi nasional.
Subsidi energi
Faktor lain yang perlu menjadi perhatian yaitu anggaran subsidi energi tahun depan, ditetapkan Rp168,6 triliun termasuk subsidi BBM sebesar Rp123,6 triliun dan subsidi listrik Rp45 triliun. Pengalaman tahun ini mengajarkan, membengkaknya subsidi BBM akibat kelebihan konsumsi. Risiko fiskal serupa harus diantisipasi pemerintah agar APBN 2012 tidak menjadi APBN subsidi yang cenderung tidak produktif.
Secara umum, APBN 2012 patut diapresiasi sebagai ‘macan kertas’ yang cukup memadai untuk ekspansi ekonomi dan relatif responsif terhadap penanggulangan krisis. Namun implementasinya bergantung pada seluruh kuasa pengguna anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah.
APBN harus dapat diserap dengan efektif dan efisien demi pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif bagi seluruh rakyat negeri ini. Karena toh dana APBN diambil dari kekayaan alam dan manusia Indonesia yang melimpah. Dan jangan lupa, kesenjangan si kaya dan si miskin makin lebar, masih ada 30,2 juta masyarakat miskin dan 8,1 juta pengangguran.
Payung krisis sudah disiapkan. Tinggal mengantisipasi separah apa badai akan terjadi dan sekuat apa payung itu dapat menghalau sang badai. ([email protected])