Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi mementahkan permohonan uji materi mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengenai izin presiden untuk memeriksa anggota parlemen sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi.
Setya Novanto dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan Pasal 46 ayat (1) UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pengesampingan prosedur khusus pemeriksaan tersangka dalam peraturan-perundangan lainnya.
Pasal ini terkait dengan tafsir Novanto bahwa UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 mengharuskan persetujuan presiden untuk memeriksa atau meminta keterangan anggota parlemen dalam penyidikan.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa izin presiden untuk memeriksa anggota DPR tidak berlaku dalam kasus tindak pidana khusus seperti korupsi, tertangkap tangan, dan pidana berat. Ketentuan ini, kata dia, diatur dalam Pasal 245 Ayat 3 UU MD3.
Oleh karena itu, Saldi mengatakan KPK tidak perlu meminta izin presiden untuk memanggil Novanto dalam kasus dugaan korupsi KTP-el.
Dengan demikian, Novanto tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan gugatan Pasal 46 Ayat 1 UU KPK ke MK.
Baca Juga
"Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan amar Putusan MK No. 95/PUU-XV/2017 di Jakarta, Rabu (21/2/2018).