Kabar24.com, JAKARTA--Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2014-2019 GKR Hemas menyatakan, direbutnya pimpinan sah lembaga tinggi negara itu merupakan tindakan di luar batas nalar politik dan hukum.
Menurut GKR Hemas, dirinya tidak pernah menyatakan mundur dari kursi pimpinan lembaga tinggi negara tersebut. Oleh karena itu, tidak pernah ada kekosongan pimpinan DPD. Dengan demikian, lanjutnya, tidak ada dasar hukum pemilihan pimpinan DPD yang baru.
"Tidak ada dasar bagi pimpinan sidang sementara untuk memilih pimpinan baru. Direbutnya pimpinan sah DPD di luar batas rasionalitas nalar politik dan hukum," ujar Hemas kepada wartawan di kediamannya, Rabu (5/4/2017).
Menurut Hemas, situasi DPD tidak hanya menjadi potret para senator, melainkan juga menjadi cermin penegakan hukum di Indonesia.
Hemas pun mempertanyakan sikap Mahkamah Agung (MA) melalui Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Suwardi yang melantik tiga pimpinan baru DPD. Ketiga pimpinan yang dilantik itu adalah Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD, dengan dua wakilnya masing-masing Nono Sampono dan Darmayanti Lubis.
Hemas meminta kepada Suwardi untuk menjelaskan kepada publik ihwal pengangkatan pimpinan baru tersebut.
Baca Juga
Sementara itu, pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan bahwa kisruh dalam pemilihan pimpinan DPD berawal dari kesalahan MA.
Margarito menjelaskan, kesalahan pertama pada putusan itu adalah bahwa objek dari putusan MA dinilai salah karena dalam putusan itu objeknya adalah UU nomor 1 tahun 2016, sementara yang diperkarakan adalah 'Peraturan DPD RI nomor 1/2017 tentang Tatib', bukan undang-undang.
Kedua, mengenai subyek dari putusan MA itu adalah hakim memerintahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mencabut Peraturan DPD RI Undang-undang nomor 1 tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tatib.
"Subyeknya dalam putusan MA memerintahkan DPRD untuk melaksakanan putusannya, itu bukan DPD. Sehingga praktis tidak ada yang perlu dilaksanakan," ujar Margarito.
Menurut Margarito, akibat dua kesalahan fatal itu, maka putusan MA bisa diabaikan dan tidak perlu menempuh jalur hukum lainnya.
"Itu sudah salah tidak perlu ada lagi langkah hukum, ini (putusan MA) diabaikan saja, tatib batasan pimpinan DPD 2.5 tahun tetap berjalan," ujarnya.