Bisnis.com, JAKARTA — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta DPR untuk menghapus ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membuka peluang TNI bertindak sebagai penyidik dalam kasus tindak pidana umum.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur menuturkan peluang itu muncul dalam pasal 7 (5) dan pasal 20 (2). Menurut YLBHI, kedua pasal ini membuka ruang bagi TNI untuk menjadi penyidik pada tindak pidana umum dan melakukan upaya paksa.
“Menurut kami hal ini berbahaya, akan mengembalikan praktik dwifungsi ABRI dan akan mengacaukan sistem peradilan pidana,” bebernya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/7/2025).
Bila hal itu terjadi, dia menilai akan ada dualisme penyidikan dan juga berdampak pada tumpang tindih kewenangan. Bahkan, dia menyebut tidak akan ada jaminan kepastian hukum dan pelindungan bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Isnur juga melihat akan adanya potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bilamana memang TNI dijadikan penyidik dalam kasus tindak pidana umum.
“Perdebatan TNI di sini menurut kami sebagai penyidik kasus pidana umum dan memiliki potensial menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Pelanggaran HAM bisa terjadi dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, bahkan penangkapan tersangka,” urainya.
Baca Juga
Dia pun menyampaikan di hadapan Komisi III DPR bahwa YLBHI pernah membahas reformasi peradilan militer secara intens dengan Komisi I DPR saat melakukan pembahasan Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI). Sebab itu, dia meminta DPR bisa menghapus pasal terkait dalam revisi KUHAP.
“Menurut kami rekomendasi apa? Ini dihapus saja ketentuan TNI menjadi penyidik dan juga dihapus frasa penyidik utama di penyidik kepolisian,” pintanya.
Adapun, alasan Isnur meminta DPR menghapus frasa penyidik utama terletak di penyidik kepolisian karena menurutnya ini dapat mensubordinasi kepentingan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang memiliki kewenangan hukum.
Misalnya, lanjut dia, PPNS Bea Cukai, PPNS Pajak, PPNS Komdigi, PPNS Kehutanan, PPNS Lingkungan Hidup, dan penyidik di sektor strategis seperti narkotika, lingkungan, kehutanan, dan perikanan, itu wajib berkoordinasi dan mendapatkan persetujuan Polri dalam melakukan upaya paksa dan menyerahkan berkas ke penuntut umum.
“Menurut kami, dalam banyak kasus, pimpinan, itu akan menghambat efektivitas penyidikan berbasis keahlian teknis. Dan tentu ini bertentangan dengan prinsip koordinasi fungsional, supervisi penuntut umum, serta pengawasan atau pengadilan,” tandasnya.