Bisnis.com, JAKARTA – Lee Jae-myung, sosok vokal dari sayap kiri Korea Selatan resmi menjadi Presiden Negeri Gingseng tersebut. Dalam prosesnya menuju kursi nomor satu di Korsel, Lee berkali-kali bangkit dari keterpurukan.
Lee pernah tergeletak di ranjang rumah sakit usai ditikam di bagian leher pada awal 2024. Bagi sebagian besar politisi, peristiwa itu mungkin menjadi akhir jalan. Tapi bagi Lee, cobaan justru bahan bakar perjuangan.
Layaknya Donald Trump yang juga selamat dari upaya pembunuhan tahun lalu, Lee memanfaatkan setiap tekanan dan perlawanan sebagai modal politik.
“Karena hidup saya diselamatkan oleh rakyat, saya akan mengabdikan sisa usia saya sepenuhnya untuk mereka. Jika saya bisa mengembalikan politik yang berbasis pada rasa hormat dan hidup berdampingan, saya takkan menyesal meski itu menyita seluruh hidup saya,” ungkapnya usai dirawat di Rumah Sakit Busan, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (4/6/2025).
Meski sering disamakan dengan Trump karena pendekatan populisnya, garis kebijakan Lee lebih dekat ke progresivisme ala Bernie Sanders.
Namun setelah kekacauan politik yang dipicu oleh kegagalan Yoon Suk Yeol dalam menerapkan darurat militer enam bulan lalu, Lee mulai bergerak ke tengah. Strategi ini membuahkan hasil. Ia menang tipis atas Kim Moon-soo dan akhirnya merebut posisi yang nyaris diraihnya tiga tahun lalu.
Baca Juga
Meski demikian, jalan Lee tidak sepenuhnya mulus. Ia masih menjadi figur kontroversial karena dihantui berbagai skandal hukum dan kepribadian yang membelah opini publik. Namun, tak bisa disangkal bahwa ia telah membuktikan diri sebagai penyintas politik sejati.
Lee meraup 49,4% suara, mengalahkan Kim Moon-soo yang meraih 41,2%, menurut hasil resmi Komisi Pemilihan Nasional. Pelantikan Lee berlangsung pukul 11.00 waktu Seoul, sebagaimana dilaporkan oleh Yonhap News.
Head of Asia strategy & East Asia Corporates CreditSights Zerlina Zeng menyebut bahwa terbentuknya pemerintahan baru dan meredanya ketidakpastian kebijakan menjadi angin segar bagi won Korea dan surat utang berdenominasi dolar.
Dalam pencalonan terbarunya, Lee tampil sebagai pemimpin yang lebih dewasa dan pragmatis. Ia menjauh dari janji-janji lama seperti pendapatan dasar universal dan layanan kesehatan gratis sepenuhnya.
Nada keras terhadap AS dan Jepang juga mereda. Namun garis kebijakannya tetap cenderung ke arah perlindungan buruh, pengurangan kekuasaan konglomerat, serta reformasi konstitusi agar memungkinkan masa jabatan dua periode dan penghentian PLTU batu bara.
Di kancah internasional, Lee menyatakan akan melanjutkan kerja sama trilateral dengan AS dan Jepang, sembari membuka kemungkinan diplomasi dengan Korea Utara serta menjaga keseimbangan hubungan dengan China.
Yasuyo Sakata dari Kanda University Jepang mengatakan pernyataan Lee tentang pentingnya kemitraan trilateral memang menggembirakan, namun hal tersebut masih perlu pembuktian.
”Ujian sebenarnya baru akan datang setelah ia resmi menjabat,” ungkap Sakata.
Di dalam negeri, Lee akan mendapat dukungan lebih besar di parlemen dibanding Yoon. Partai Demokrat yang ia pimpin berhasil memperluas dominasi dalam pemilu legislatif tahun lalu, memberinya ruang lebih besar untuk meloloskan kebijakan.
Ketegangan antara legislatif dan eksekutif selama masa Yoon, yang berujung pada keputusan ekstrem pemberlakuan darurat militer, tidak akan terulang dengan konstelasi baru ini.
Namun bayang-bayang hukum belum sepenuhnya sirna. Lee masih menghadapi sejumlah dakwaan terkait penyalahgunaan kekuasaan, penggelapan dana publik, dan pelanggaran hukum pemilu.
Ia menyangkal semua tuduhan dan menyebut proses hukum sebagai serangan politik. Status hukum tersebut kini menggantung dan mungkin baru diproses setelah ia menjabat.
Latar belakang Lee sendiri penuh lika-liku. Lahir dari keluarga miskin di Seongnam, ia mulai bekerja di pabrik kalung sejak usia 12 tahun. Kecelakaan kerja membuat lengannya cacat, tetapi itu tak menghalanginya mengejar pendidikan secara otodidak hingga lulus ujian advokat. Setelah menjadi aktivis buruh, ia masuk politik dari jenjang bawah, lalu menjabat Wali Kota Seongnam dari 2010 hingga 2018.
Kepemimpinannya di Seongnam meninggalkan jejak kuat, termasuk perluasan layanan medis publik dan kebijakan penghasilan dasar untuk pemuda. Ia lalu naik menjadi Gubernur Gyeonggi—provinsi terbesar di Korea—dan mendapat pengakuan atas penanganannya terhadap pandemi Covid-19.
Namun ambisinya tak berhenti di situ. Ia maju sebagai kandidat Partai Demokrat pada Pilpres 2022, kalah tipis dari Yoon. Ketika Yoon dinilai terlalu lunak menanggapi pelepasan limbah Fukushima oleh Jepang pada 2023, Lee melakukan mogok makan selama lebih dari tiga minggu. Kritik menyebut aksi itu sebagai pengalihan isu dari proses hukum yang sedang menjeratnya.
Pada November lalu, pengadilan memvonisnya atas pernyataan palsu saat kampanye 2021, vonis yang seharusnya mencabut kursi parlemen dan hak mencalonkan diri selama lima tahun. Namun Lee mengajukan banding dan berhasil menunda putusan hingga pemilu berakhir.
Titik balik terbesar datang secara tak terduga ketika Yoon memberlakukan darurat militer pada 3 Desember—kebijakan pertama dalam empat dekade yang justru memicu krisis politik dan ekonomi.
Dalam hitungan jam, Lee memimpin anggota parlemen menembus barikade keamanan dan menggagalkan dekrit tersebut. Ia bahkan menyiarkan langsung aksinya melompati pagar.
ujar Park Sung-min dari Min Consulting mengatakan Lee seakan selalu berhasil lolos dari lubang jarum. Setiap kali tampaknya karier politiknya akan tamat, Lee selalu berhasil keluar.
"Di momen-momen seperti itu, rasanya seperti ada campur tangan ilahi,” pungkasnya.