Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemendikdasmen: Faktor Ekonomi Jadi Penyumbang Terbesar Anak Tak Bersekolah

Kemendikdasmen menyebut faktor ekonomi menjadi penyumbang faktor terbesar anak-anak tidak bersekolah.
Siswi melakukan proses belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah 14 Jakarta, Senin (16/1/2023). Bisnis/Suselo Jati
Siswi melakukan proses belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah 14 Jakarta, Senin (16/1/2023). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA — Dirjen Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus di Kemendikdasmen, Tatang Muttaqin menyebut faktor ekonomi menjadi penyumbang terbesar anak-anak tidak bersekolah.

Hal ini dia ungkapkannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) Panja Pendidikan di daerah 3T dan daerah marginal bersama Komisi X DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).

“Kalau kita lihat kondisi di faktualnya, faktor ekonomi dan bekerja menjadi penyumbang terbesar dari anak-nanak kita yang tidak sekolah,” ungkapnya.

Tatang melanjutkan, hal ini terutama terjadi saat usia semakin tinggi, maka probabilitas untuk tidak sekolahnya juga semakin lebih tinggi lagi. Dia pun menerangkan ada dua faktor yang seringkali menyebabkan hal itu terjadi.

“Karena mengurus rumah tangga, menikah, jadi hal-hal ini faktor paling banyak yg membuat anak tidak sekolah,” tuturnya.

Sementara itu, dalam pemaparannya, faktor lainnya adalah tidak ada biaya sekolah 25,55%, bekerja/mencari nafkah 21,64%, merasa pendidikan cukup 9,77%, disabilitas 3,64%, sekolah jauh 2,61%, dan mengalami perundungan 0,48%.

Adapun, berdasarkan data yang sama, diketahui saat ini ada sekitar 3,9 juta lebih anak yang tidak sekolah atau ATS. Sekitar 881 ribu lebih di antaranya putus sekolah, 1 juta lebih lulus tetapi tidak melanjutkan, dan 2 juta lebih belum pernah bersekolah.

Lebih jauh, dikatakan Tatang pula bahwa saat ini masih terlihat kesenjangan pendidikan yang cukup besar, khususnya soal kemampuan keluarga miskin untuk mendapatkan akses pendidikan.

“Kita melihat berbagai intervensi yang dilakukan baik BOS [Bantuan Operasional Sekolah], KIP [Kartu Indonesia Pintar], berkontribusi cukup baik namun tentu masih ada selisih yang terus kita pertajam,” bebernya.

Meski demikian, dia berujar bahwa dari tren 2022 hingga 2024 perbandingan antara terkaya dan termiskin semakin mengecul, terutama di usia-usia awal sekolah seperti SD dan SMP.

“Masih menonjol antara termiskin dan terkaya di tingkat SMA. Jadi challenge buat kita fokus di area beberapa yang menjadi tantangan tersendiri pada angka tidak sekolah,” tutupnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Muhammad Ridwan
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper