Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Peradi Sebut KUHAP Sudah Tidak Relevan, Harus Segera Direvisi

Peradi meminta pemerintah dan Komisi III DPR melakukan revisi KUHAP yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi hari ini.
Rapat Paripurna DPR RI Ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2025). (ANTARA/Melalusa Susthira K.)
Rapat Paripurna DPR RI Ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2025). (ANTARA/Melalusa Susthira K.)

Bisnis.com, JAKARTA--Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) meminta pemerintah dan Komisi III DPR melakukan revisi KUHAP yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi hari ini.

Ketua Umum Peradi, Luhut Pangaribuan berpandangan bahwa KUHAP yang kini diterapkan di Indonesia sudah lahir sejak tahun 1981 atau lebih dari 4 dekade lalu, tanpa ada pembaruan. 

Menurutnya, KUHAP tersebut kini sudah ketinggalan zaman di tengah tantangan baru dalam penegakan hukum di Indonesia.

"Dalam kurun waktu itu, lanskap sosial, hukum, dan teknologi di Indonesia telah mengalami transformasi besar," tuturnya di Jakarta, Rabu (5/3/2025).

Dia pun menyoroti tiga masalah utama di dalam KUHAP yang harus segera diperbaiki agar sistem peradilan pidana bisa lebih adil, transparan, sekaligys menjunjung hak asasi manusia. 

Pertama, katanya, KUHAP saat ini belum sepenuhnya terintegrasi dengan konstitusi, terutama untuk memastikan sistem peradilan pidana yang berpihak pada keadilan substantif. 

"Advokat sebagai bagian dari sistem peradilan pidana masih diposisikan secara marginal, seakan hanya sebagai pelengkap dalam proses hukum," katanya. 

Kedua, kata Luhut, sistem peradilan pidana yang diterapkan saat ini lebih bersifat administratif dan diskresioner ketimbang berorientasi pada pencapaian keadilan substantif. 

Bahkan, menurutnya, hukum seringkali lebih menitikberatkan pada prosedur formal daripada memastikan keadilan bagi pihak yang terlibat. 

"Ketiga, hak asasi manusia dalam praktik peradilan pidana masih bersifat retoris dan banyak kasus menunjukkan bagaimana penangkapan, penahanan, dan upaya paksa lainnya dilakukan tanpa kontrol yudisial yang ketat. Hak asasi manusia tidak boleh sekadar jargon," ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper