Bisnis.com, JAKARTA - Pendapatan dari penjualan minyak dan gas untuk anggaran federal Rusia melonjak 26% secara tahunan menjadi 11,13 triliun rubel atau setara Rp1.776,6 triliun sepanjang 2024.
Dilansir dari Reuters, Senin (13/1/2025), pendapatan minyak dan gas telah menjadi sumber uang tunai terpenting bagi Rusia. Selain itu, pendapatan dari minyak dan gas merupakan salah satu penopang ekonomi Negeri Beruang Merah.
Maklum, pendapatan dari sektor energi tersebut mencakup sekitar sepertiga hingga setengah dari total pendapatan anggaran federal selama 1 dekade terakhir.
Peningkatan penjualan minyak dan gas Rusia pasa 2024 itu merupakan hal fantastis. Sebab, pada 2023 pendapatan dari minyak dan gas malah anjlok 24%.
Di sisi lain, Rusia tengah menghadapi tantangan baru dalam penjualan minyak dan gas. Pasalnya, pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengenakan paket sanksi terbesarnya sejauh ini, yang menargetkan pendapatan minyak dan gas Rusia.
Hal tersebut seiring dengan upaya AS untuk memberi pengaruh kepada Kyiv dan tim Donald Trump yang baru untuk mencapai kesepakatan perdamaian di Ukraina.
Baca Juga
Langkah tersebut dimaksudkan untuk memangkas pendapatan Rusia karena melanjutkan perang di Ukraina yang telah menewaskan lebih dari 12.300 warga sipil dan menghancurkan kota-kota sejak invasi Moskow pada bulan Februari 2022.
Mengutip Reuters pada Minggu (12/1/2025), Kementerian Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada Gazprom Neft dan Surgutneftegas, yang mengeksplorasi, memproduksi, dan menjual minyak, serta 183 kapal yang telah mengirimkan minyak Rusia. Sanksi tersebut juga mencakup jaringan yang memperdagangkan minyak bumi.
Indonesia terbuka untuk membeli minyak Rusia
Di satu sisi, Indonesia membuka peluang untuk membeli minyak dari Rusia. Hal ini seiring bergabungnya Indonesia dengan forum ekonomi BRICS.
BRICS merupakan aliansi negara yang dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Sebelumnya, BRICS juga telah berhasil menambah beberapa negara anggota baru, yakni Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut azas bebas aktif. Dengan kata lain, Indonesia bisa menjalin kerja sama dengan negara mana saja selama tidak melanggar aturan.
Oleh karena itu, dia mengatakan sah-sah saja jika kelak ada peluang untuk RI bisa membeli minyak dari Rusia. Di sisi lain, saat ini Rusia masih menerima sanksi dari negara Barat imbas invasi ke Ukraina.
"Ketika kita bangun dengan BRICS, dan kemudian ada peluang untuk kita mendapatkan minyak dari Rusia, selama itu sesuai aturan, dan tidak ada persoalan, kenapa tidak?" kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/1/2025).
Dia pun mengatakan Indonesia bakal tetap mengambil peluang kerja sama dengan negara mana saja selama itu menguntungkan. Menurutnya, hal ini tak hanya berlaku bagi negara anggota BRICS, tetapi juga dengan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
"Artinya, semua peluang yang menguntungkan Indonesia, baik bergabung dengan BRICS maupun dengan OECD, itu saya pikir nggak ada masalah," kata Bahlil.
Senada, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) membuka kesempatan yang sama untuk semua jenis minyak dari negara manapun.
Corporate Secretary KPI Hermansyah Y. Nasroen menjelaskan, KPI dalam melakukan pengadaan feedstock/bahan baku berupa minyak mentah disesuaikan dengan kebutuhan spesifikasi masing-masing kilang. Selain itu, perusahaan juga mempertimbangkan keekonomian kilang menyesuaikan dengan kondisi pasar.
"KPI membuka kesempatan yang sama untuk semua jenis minyak yang dapat dikelola kilang dengan efektif dan efisien," kata Hermansyah kepada Bisnis, Senin (13/1/2025).
Dia menuturkan, proses pengadaan minyak mentah dilakukan dengan mematuhi semua ketentuan baik yang berlaku di internal, nasional maupun internasional.
"Proses pengadaan minyak mentah di KPI juga dilakukan dengan memenuhi standar good corporate governance yang berlaku di perusahaan," jelasnya.