Bisnis.com, JAKARTA -- Kasus pelanggaran etik Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron merupakan perkara yang paling membuat pusing para Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Hal itu diakui oleh tiga orang anggota Dewas KPK periode pertama yakni Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho serta Syasuddin Haris pada konferensi pers Laporan Kinerja periode 2019-2024, Kamis (12/12/2024).
Berdasarkan catatan Bisnis, kasus etik Ghufron diputus oleh Dewas KPK pada September 2024 lalu. Pimpinan KPK jilid V itu dijatuhi sanksi teguran tertulis karena terbukti menyalahgunakan pengaruhnya untuk meminta mutasi seorang pegawai di Kementerian Pertanian (Kementan).
Tumpak, yang juga Ketua Dewas KPK, mengaku kasus etik Ghufron paling sulit ditangani karena upaya perlawanan terlapor etik itu melalui gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pengajuan uji materi Peraturan Dewas (Perdewas) KPK ke Mahkamah Agung (MA) hingga pelaporan ke Bareskrim Polri.
Menurut Tumpak, Ghufron tidak seharusnya menggugat Perdewas KPK yang menjadi landasan hukum atas proses etiknya. Dia menilai Dewas adalah bagian dari KPK yang bertugas untuk menegakkan kode etik para insan komisi antirasuah.
Di sisi lain, Perdewas KPK dinilai Tumpak sejatinya sudah muncul sejak pembentukan pertama lembaga tersebut. Dia juga merupakan salah satu pimpinan KPK jilid pertama, yang turut membuat norma dan kode etik insan KPK. Oleh sebab itu, dia menilai aneh apabila Ghufron menggugat Perdewas.
Baca Juga
"Jangan kau gugat aturannya, aneh itu yang paling menjengkelkan. Lebih menjengkelkan lagi bukan hanya digugat, diadukan lagi kami kembali ke Bareskrim. Gila itu atas dasar menyalahgunakan," kata Tumpak pada konferensi pers, Kamis (12/12/2024).
Hal tersebut diamini oleh dua kolega Tumpak, yakni Albertina dan Syamsuddin. Ketiganya merupakan pihak yang dilaporkan oleh Ghufron ke Bareskrim.
Albertina mengaku waktu dan pikiran para anggota Dewas menjadi terbagi karena harus merespons soal gugatan ke PTUN dan MA, sekaligus laporan polisi. Di sisi lain, Dewas harus mencari bukti soal kasus etik yang menjerat Ghufron.
"Memang sangat memusingkan itu, dan lebih sebenarnya kami melihat juga memusingkan kenapa Dewas berlima yang dilaporkan cuma kami bertiga," kata Albertina.
Sementara itu, Syamsuddin Haris menilai kasus Ghufron melelahkan karena Dewas harus menanggapi berbagai gugatan yang dilayakan pimpinan KPK itu selama berbulan-bulan.
"Itu cukup lama. Kami membahas dan diskusi dengan penasihat hukum. Memakan waktu berbulan-bulan. Waktu kami tersita untuk itu," paparnya.
Untuk diketahui, Majelis Etik yang beranggotakan Dewas KPK menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron atas kasus pelanggaran etik yang menimpanya.
Sanksi itu terkategorikan sedang. Pimpinan periode 2019-2024 itu terbukti menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Dewas (Perdewas) KPK No.3/2021.
"Menjatuhkan sanksi sedang kepada terperiksa teguran tertulis yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa selaku pimpinan KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku," bunyi amar putusan etik terhadap Ghufron, September 2024 lalu.