Bisnis.com, JAKARTA - PDI Perjuangan (PDIP) menyinggung keterlibatan Polri dalam perhelatan Pilkada Serentak 2024. Cawe-cawe polisi atau Partai Coklat (Parcok), yang terkait dengan sosok Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
PDIP mengatakan pelaksanaan Pilkada Serentak pada 27 November 2024 kemarin sangat mengkhawatirkan lantaran terdapatnya sisi-sisi gelap demokrasi.
“Di mana sisi-sisi gelap ini digerakkan oleh suatu ambisi kekuasaan yang tidak pernah berhenti yang merupakan perpaduan dari tiga aspek. Pertama adalah ambisi Jokowi sendiri, kemudian yang kedua adalah gerakan parcok, partai coklat. Ketiga, PJ kepala daerah, dan ini terjadi kejahatan terhadap demokrasi” tutur Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto dalam konferensi pers yang digelar di kantor DPP PDIP, Kamis (28/11/2024).
Kemudian, para ketua DPP mulai menjelaskan soal 'kegelapan demokrasi' yang dimaksud secara bergantian. Ketua DPP PDIP sekaligus mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menuturkan soal kecurangan Bobby Nasution di Pilkada Sumatra Utara.
Menurutnya, ada banyak cara yang dilakukan penguasa untuk memenangkan Bobby Nasution, yang notabene merupakan menantu Jokowi.
"Berbagai macam cara dilakukan untuk bisa memenangkan Bobby Nasution melalui kecurangan-kecurangan yang menggunakan partai coklat, bansos, PJ kepada daerah-daerah dan desa," ucap Djarot.
Baca Juga
Djarot kemudian menyebutkan soal intimidasi parcok kepada pemerintah desa di Sumatra Utara untuk menjadi tim sukses di pemungutan suara dan oknum di polsek untuk mengamankan suara. Mereka juga tak berani bercerita.
Dalam agenda yang sama, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah juga menuturkan bahwa ia menemukan sejumlah anomali yang terjadi di Pilkada Banten, yakni pada pasangan Airin Rachmy Diany-Ade Sumardi.
Diungkapkan olehnya, atas arahan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Basarah akan bersikap atas anomali-anomali yang diberikan dengan melakukan legal action.
Polri Kembali ke TNI dan Kemendagri
Dugaan keterlibatan Polri dalam politik praktis di sejumlah pelaksanaan pemilihan kepala daerah alias Pilkada 2024 memicu polemik. Ada dorongan untuk mengembalikan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri alias Kemendagri atau di bawah TNI.
PDIP menegaskan tidak terlalu mempersoalkan terkait dengan tujuh fraksi DPR yang menolak usulan Polri agar berada di bawah Kemendagri. Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Sitorus menyayangkan bahwa usulan terkait Polri itu langsung ditolak tanpa ada pembahasan di Komisi III DPR.
"Jadi kalau misalnya ada tujuh fraksi belum apa-apa, sudah menolak wacana itu, ya silakan. Nanti kita lihat bagaimana [respons] masyarakat sipil, kaum terdidik, kaum intelektual, akademisi," ujarnya di Kantor DPP PDIP pada Minggu (1/12/2024).
Deddy menekankan bahwa usulan itu bukan hanya terkait dengan persoalan politik. Pasalnya, usulan Polri agar di bawah Kemendagri ini muncul akibat kinerja korps Bhayangkara yang dinilai mengalami degradasi.
Kemerosotan kinerja itu lantaran banyaknya kasus oknum Polri yang terlibat dengan persoalan hukum, seperti narkoba. Tak hanya anggota, bahkan sekelas Kapolda ikut terlibat dalam jual beli narkoba.
Puncaknya, kata Deddy, pada peristiwa pembunuhan Brigadir J oleh mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo. Kasus polisinya polisi itu dinilai telah sangat mencoreng nama baik Polri.
"Jadi ini satu teriakan dari nurani kami yang bersih dan jernih, agar institusi Polri ini melakukan introspeksi ke dalam," tambahnya.
Selain itu, Deddy juga menekankan bahwa usulan ini tidak bertentangan dengan cita-cita reformasi. Sebab, wacana itu lebih kepada institusi Polri agar berbenah agar tidak menciptakan konflik lebih besar.
"Bukan perkakasnya penguasa. Itu yang paling penting. Karena bahayanya akan menciptakan konflik-konflik bersifat gunung es, yang suatu saat akan meletup, melebihi kemampuan lembaga Polri untuk menangani," pungkas Deddy.
Respons GP Ansor
Sementara itu, pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor menolak wacana dari PDI-Perjuangan yang ingin menggabungkan Polri ke dalam TNI.
Sekjen Pimpinan Pusat GP Ansor, A. Rifqi al Mubarok berpandangan bahwa upaya PDI-Perjuangan tersebut bertentangan dengan amanah reformasi 1998 yang tertuang di dalam TAP MPR Nomor VI dan VII/2000, serta keputusan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang telah memisahkan Polri dari TNI.
"Salah satu capaian utama dari gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil kala itu adalah memisahkan peran dan fungsi Polri dari TNI. Langkah ini menjadi simbol reformasi sektor keamanan yang mendukung supremasi sipil, penghormatan terhadap HAM dan penguatan demokrasi," tuturnya di Jakarta, Minggu (1/12).
Selain itu, Rifqi juga mengingatkan upaya penggabungan Polri ke dalam TNI tersebut akan mengkhianati semangat reformasi dan berpotensi melemahkan demokrasi.
"Langkah itu hanya akan memperbesar risiko penyalahgunaan kekuasaan dan mengaburkan fungsi masing-masing institusi dalam sistem demokrasi kita," kata Rifqi.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum GP Ansor H Addin Jauharudin yang menilai bahwa upaya penggabungan Polri ke TNI harus ditolak dengan tegas.
"GP Ansor berdiri tegak menjaga cita-cita reformasi dan memastikan supremasi sipil tetap menjadi pilar utama demokrasi Indonesia," ujarnya.
Addin juga berharap pemerintah, termasuk Presiden Prabowo Subianto, yang dikenal sangat menghormati Gus Dur, tetap bisa berpegang pada prinsip-prinsip reformasi.
"Jangan pernah mundur. Indonesia saat ini membutuhkan komitmen yang kuat untuk mewujudkan negara yang adil, demokratis, dan sejahtera," tutur Addin.