Bisnis.com, JAKARTA -- Emiten tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang lewat putusan PN Semarang atas perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Pembacaan putusan kepailitan Sritex dan perusahaan lainnya itu dilakukan pada Senin (21/10/2024) di PN niaga Semarang.
Dikutip dari situs resmi SIPP PN Semarang, Kamis (24/10/2024), pemohon yaitu PT Indo Bharat Rayon mengajukan pembatalan perdamaian dengan pihak termohon lantaran lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran.
Adapun, pihak termohon tak hanya Sritex, tetapi juga anak perusahaan lainnya yaitu, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Dalam perkara ini, PT Indobharat meminta PN Niaga untuk membatalkan putusan PN Semarang No. 12/Pdt.Sus PKPU/2021.PN.Niaga.Smg pada 25 Januari 2022 terkait Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi).
"Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Biratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya," tulis pernyataan dalam putusan terbaru.
Baca Juga
PN Niaga Semarang juga telah menyatakan bahwa para termohon telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada Pemohon berdasarkan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022.
Siapa Indo Bharat Rayon?
Indo Bharat Rayon adalah salah satu lini usaha yang terafiliasi dengan konglomerasi bisnis asal India, Aditya Birla Group. Perusahaan ini berdiri dan mulai beroperasi pada tahun 1980.
Malansir laman resmi perusahaan, lokasi pabrik PT IBR berada di Purwakarta di Jawa Barat. PT IBR memulai produksi komersial pada tahun 1986 dengan kapasitas sederhana sebesar 16.500 tpa.
Adapun, perseroan terus mengembangkan lini bisnisnya dan saat ini pabrik tersebut memiliki kapasitas terpasang lebih dari 200.000 tpa. IBR mengklaim telah menjadi produsen Viscose Stable Fiber alias VSF terbesar kedua di dunia di satu lokasi.
PT IBR memproduksi berbagai macam VSF dalam spesifikasi rekayasa untuk aplikasi tekstil dan non-woven. Perusahaan tersebut juga memproduksi bahan kimia seperti natrium sulfat anhidrat dan asam sulfat. Natrium sulfat anhidrat banyak digunakan dalam industri deterjen, kaca, pewarnaan tekstil, dan pulp serta kertas di pasar domestik maupun luar negeri.
Saat ini, IBR tidak hanya menikmati pangsa pasar domestik yang dominan tetapi juga melayani berbagai macam pelanggan di AS, Eropa, Turki, Jepang, Korea, Cina, Maroko, Filipina, Malaysia, dan lokasi global lainnya di segmen tekstil dan non-woven.
Dalam laporan tahunan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) tahun 2014, Indo Bharat Rayon bersama dengan PT South Pasific Viscose disebut sebagai dua pemasok serat rayon terbesar di Indonesia.
Grup Sritex sejatinya juga telah memiliki pabrik serat rayon sendiri yakni PT Rayon Utama Makmur (RUM), hanya saja operasional perusahaan ini selalu terganjal oleh persoalan bau limbah produksi yang banyak diprotes warga Sukoharjo.
Nilai Gugatan
Sementara itu, Direktur Keuangan SRIL, Welly Salam mengatakan, PT Indo Bharat Rayon (IBR) merupakan salah satu kreditur utang dagang perseroan. Namun, tidak terdapat nama IBR pada laporan keuangan perseroan.
Alasannya, lanjut Welly, karena seluruh kreditur yang termasuk sebagai utang dagang tercantum dalam utang usaha dengan pihak ketiga. Setelah adanya putusan pailit, SRIL masih memiliki sisa utang sebesar Rp101,3 miliar (Rp101.308.838.984) kepada IBR.
"Perseroan masih memiliki nilai utang tersisa sebesar Rp101,3 miliar kepada IBR, yang mana berdasarkan laporan keuangan konsolidasian per 30 Juni 2024, mencerminkan 0,38% dari total liabilitas perseroan," ujar Welly dalam keterangannya di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Sabtu (26/10/2024).
Menurutnya, IBR merasa tidak menerima pembayaran kewajiban Grup Sritex berdasarkan Putusan Homologasi sejak Juli 2023, yakni pembayaran secara cicilan bulanan sejumlah US$17.000, dan/atau akan dilunaskan secara penuh pada tanggal jatuh tempo.
"Grup Sritex memandang bahwa ketentuan tersebut tidak bersifat kumulatif, dan pada faktanya Grup Sritex telah melakukan sejumlah pembayaran yang lebih daripada ketentuan minimum yang ditentukan Putusan Homologasi," jelasnya.
Merespons putusan pailit ini, SRIL dengan PT Sinar Panta Djaja, PT Primayudha Mandirijaya, dan PT Bitratex Industries (Grup Sritex) telah menunjuk kuasa hukum dari kantor hukum Aji Wijaya & Co, yang akan mendampingi serta mewakili Grup Sritex dalam melakukan upaya hukum kasasi terhadap Putusan Pembatalan Homologasi (Upaya Kasasi).
"Saat ini perseroan masih melakukan upaya kasasi terhadap Putusan Pembatalan Homologasi dan perseroan masih melakukan aktivitas operasionalnya secara normal untuk dapat tetap melakukan pemenuhan terhadap kewajibannya," kata Welly.
Alhasil, SRIL mengatakan akan terus beroperasi secara normal dan berupaya untuk meningkatkan produksi dengan melakukan pengikatan kerja sama dengan beberapa negara dan pihak-pihak lainnya untuk dapat meningkatkan pendapatan perseroan guna dapat tetap memenuhi kewajibannya berdasarkan Putusan Homologasi.
Berdasarkan laporan keuangan 2023, Sritex memiliki total liabilitas US$1,6 miliar. Total itu mencakup liabilitas jangka pendek US$113 juta dan liablitas jangka panjang US$1,49 miliar.
Liabilitas jangka pendek Sritex termasuk utang jangka pendek US$11 juta, utang usaha jangka pendek US$31,86 juta, dan surat utang jangka menengah US$5 juta.
Adapun, liabilitas jangka panjang Sritex didominasi oleh utang bank US$858,04 juta, obligasi neto US$371,86 juta, dan utang usaha jangka panjang kepada pihak berelasi US$92,51 juta.
Manajamen Sritex menyampaikan SRIL telah mencatat rugi neto pada 2023 sebesar US$174,84 juta. Pada saat yang sama, SRIL melaporkan defisit dan defisiensi modal pada masing-masing sebesar US$1,16 miliar dan US$954,82 juta.