Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu presiden yang paling sering melakukan perombakan (reshuffle) menteri Kabinet Indonesia Maju (KIM). Dia bahkan melakukannya ketika menjelang akhir masa pemerintahannya.
Jokowi tercatat melakukan reshuffle sebanyak dua kali pada waktu yang hampir berdekatan.
Pada Senin (19/8/2024) dia melantik Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rosan P. Roeslani sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM, dan Supratman Andi Agtas sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkhumham).
Tak lama berselang, Kepala Negara melakukan perombakan lagi pada Rabu (11/9/2024) yang hanya berjarak 23 hari sejak reshuffle yang pertama. Sedangkan masa jabatannya pun akan berakhir dalam hitungan 40 hari lagi.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai bahwa Presiden Ke-7 RI itu perlu lebih hati-hati dan mempertimbangkan banyak hal dalam rangka melantik pejabat.
Dia mengatakan meskipun seringkali beralaskan untuk memuluskan transisi ke pemerintahan selanjutnya, tetapi menteri-menteri tersebut akan tetapi mendapat Tunjangan Hari Tua (THT) dan gaji pensiun yang akan memberatkan beban belanja negara.
Baca Juga
“Meskipun hanya 1—2 bulan menjabat, beban belanja negara untuk tunjangan dan hak pensiun menteri bisa dianggap wasted resources, belanja yang mubazir. Disaat yang sama beban tadi kan masuk dalam pos belanja pegawai, yang nilai totalnya saat ini sudah jumbo Rp460,8 triliun setara 18% dari belanja pemerintah pusat,” tuturnya kepada Bisnis, Minggu (15/9/2024).
Lebih lanjut, dia pun mengamini bahwa reshuffle merupakan hak prerogatif presiden, tetapi peluang untuk merombak kabinet lagi masih ada. Mengingat Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung menyatakan mundur pada 22 September mendatang.
Menurutnya, dalam kondiri ruang fiskal yang sedang sempit, ada kekhawatiran defisit APBN akan melebar apabila pemerintah boros dalam hal kebijakan menyusun ulang pembantu-pembantunya di kabinet.
Sehingga, Bhima menyayangkan bahwa pemerintah tak mempertimbangan belanja untuk tunjangan dan hak pensiun menteri baru sebagai bagian kajian utama sebelum melakukan reshuffle.
"Selain membuang anggaran Jelas tidak efektif juga, karena menteri yang baru tentunya harus beradaptasi, dan 1—2 bulan ketika fase adaptasi bagaimana mau jalankan program dengan lancar? Sulit rasanya berharap pada peningkatan kinerja menteri baru yang menjabat di waktu super singkat,” pungkasnya.
Senada, Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda pun tidak melihat urgensi pelantikan menteri yang sebenarnya bisa ditugaskan kepada Pelaksana tugas (Plt) yang semisalnya bisa diembankan kepada Menteri Koordinator (Menko) terkait yang sebenarnya tupoksinya sejalan.
“Tidak ada urgensi melantik menteri baru. Bahkan 2008—2009, ada Plt Kemenko Bidang Perekonomian yang dijabat oleh Menkeu aktif saat itu, Sri Mulyani. Jadi sebenarnya bisa dilakukan melalui Plt,” ucapnya.
Dia menilai beda cerita ketika Jokowi melantik untuk tujuan politik balas budi kepada para menteri yang terpilih lantaran berhasil memenangkan pasangan nomor urut 02 yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Sehingga, dia menyoroti apabila melihat dari sisi ekonomi tentu saja akan menjadi pemborosan bagi dompet negara. Mengingat, setiap menteri yang menjabat bakal mendapatkan tunjangan dan hak pensiun yang jumlahnya cukup besar.
“Uang yang seharusnya bisa dihemat jadi digunakan untuk membiayai pensiunan menteri. Apalagi hanya menjabat 2 bulan. Buat apa harus ada menteri kalo tidak bisa melakukan sesuatu. Atau ya melakukan sesuatu demi kepentingan kelompoknya saja,” pungkas Huda.