Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kaesang, Mangkunegara X, dan Ingatan Gerakan Anti-Dinasti di Kota Solo

Kalau resmi maju, Mangkunegara X menjadi satu-satunya penguasa monarki Solo, yang akan bertarung dalam kontestasi politik pasca gerakan anti-swapraja.
Resepsi malam pernikahan Kaesang dan Erina di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah./ Istimewa
Resepsi malam pernikahan Kaesang dan Erina di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah./ Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA -- Partai Solidaritas Indonesia (PSI) akan mengusung Mangkunegara X sebagai bakal calon wali kota Solo. Rekomendasi dukungan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum PSI sekaligus putra bungsu presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep.

"Hari ini, sesuai dengan permintaan dan keputusan teman-teman DPD PSI Solo, saya selaku ketua umum memberikan rekomendasi pada Kanjeng Gusti Bhre sebagai bakal calon Wali Kota Surakarta periode 2024–2029," kata Kaesang, seperti dilansir Antara.

Kaesang mengatakan rekomendasi tersebut diberikan atas dasar masukan dari para anggota PSI dan konstituen PSI di Kota Solo.

Menurut Kaesang, Gusti Bhre merupakan sosok muda yang cukup bersinar di Kota Solo. Oleh karena itu, dukungan layak diberikan kepada Adipati Mangkunegaran tersebut.

"Saya rasa Gusti Bhre ini kan salah satu anak muda yang cukup bersinar di Kota Solo dan mampu memimpin Mangkunegaran. Beliau juga salah satu komisaris di KAI, teman-teman bisa tahu kiprah kerja beliau ke depannya," tuturnya.

Dalam catatan Bisnis, jika Mangkunegara X maju atau bahkan terpilih sebagai wali kota Solo, ia akan menjadi satu-satunya trah pecahan Mataram Islam di Solo, yang memimpin suatu wilayah pasca penghapusan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) pada awal-awal kemerdekaan.

DIS dihapus oleh pemerintahan Sukarno-Hatta karena kondisi Solo yang tidak stabil pasca kemerdekaan. Terjadi gerakan anti swapraja, anti monarki dan anti raja. Revolusi sosial berkecamuk, korbannya adalah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara. Pengaruh dua dinasti tersebut pudar setelah DIS bubar.

dr Cipto dan Embrio Antifeodal di Solo

Kisah Cipto Mangunkusumo yang berkonflik dengan raja-raja Jawa, adalah salah satu embrio gerakan antifeodal di Solo, khususnya pihak Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan rajanya, Pakubuwono X.

Pakubuwono adalah gelar salah satu penguasa Vorstenlanden, sebuah daerah yang dikuasai oleh penerus Dinasti Mataram Islam pasca perjanjian Giyanti. Wilayah ini diperintah oleh empat klan pecahan Mataram yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.  

Wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran kini menjadi Soloraya, pusatnya di kota Surakarta atau Solo. Sedangkan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tempat tinggal penguasanya ada di Kota Yogyakarta. Dua kota ini, selain Batavia dan Surabaya, menjadi lokasi penting selama era pergerakan nasional. 

Takashi Shiraishi, dalam buku Zaman Bergerak, menggambarkan Cipto sebagai seorang yang sangat anti terhadap Raja Jawa. Raja Jawa atau penguasa feodal di Vorstenlanden digambarkan sebagai penghisap rakyat Jawa. Rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara Raja dan para para elite istana, justru hidup foya-foya dengan upacara yang serba adiluhung.

"Kritik tajam Cipto kepada Sunan ini bukan hal yang mengejutkan. Ketidaksukaannya pada sunan dan tradisi "feodal" nyaris melegenda sejak ia pernah mengendarai keretanya memasuki alun-alun di depan keraton sultan," tulis Shiraishi dikutip, Jumat (6/10/2023).

Cipto sadar betul bahwa kondisi itu harus diubah. Kolonialisme dan tingkah laku para raja-raja Jawa harus dikoreksi. Alasan inilah yang membuatnya sangat bersemangat untuk menyerang Sunan Pakubuwono X. Surat kabar mingguan Panggoegah dan Volksraad (DPR) era pemerintah kolonial jadi ruang Cipto menyampaikan kritik-kritik tajamnya.

Shiraishi menulis bahwa dalam Panggoegah edisi 9 Juni, Cipto secara terang benderang menyebut dua keraton di Surakarta atau Solo sebagai beban yang justru harus dipelihara oleh orang-orang di Surakarta. Dia kemudian mengusulkan supaya Pakubuwono dan Mangkunegara dipensiunkan kemudian diberi gaji tetap bulanan sebanyak 2.000 gulden.

Seantero Solo geger. Banyak yang menentangnya, tetapi banyak pula yang mendukung langkah Cipto.Usul Cipto supaya Raja Solo dipensiunkan juga menjadi ulasan Panggoegah edisi 16 Juni 1919.

Pada edisi ini, dia bahkan mengatakan Amangkurat II beserta keturunannya adalah budak-budak feodal VOC termasuk penggantinya yakni negara Hindia Belanda.

Gerakan anti-raja yang dipelopori oleh Cipto membuat resah raja dan kalangan bangsawan di Solo. Shiraishi bahkan menyebut bahwa serangan atau kritik tajam Cipto kepada gaya hidup Istana Jawa menjadi isu utama pergerakan di Surakarta. Situasi kubu Cipto yang anti-Raja dengan yang pro penguasa feodal memanas. Cipto, pemuda asal Jepara, dianggap sebagai ancaman bagi berlangsungnya dinasti politik Jawa.

Pihak yang anti-Cipto didukung oleh Sarekat Islam, tokohnya Haji Samanhudi, dan Boedi Oetomo. Pangeran Hadiwidjojo mencoba membuat narasi tandingan untuk melawan kampanye anti-raja kubu Cipto yang didukung oleh NIP-Sarekat Hindia. Situasi itu membuat kondisi Surakarta atau Solo tidak kondusif.

Cipto mulai mengorganisir diri dan sering membuat rapat-rapat umum. Misi anti-raja atau Sunan Pakubuwono terus berjalan. Tidak lagi menggunakan Panggoegah dan Volksraad sebagai panggungnya. Cipto kali ini menggunakan rapat-rapat umum dan ketoprak. Ketoprak adalah seni pertunjukan atau teater rakyat Jawa. Ceritanya berbagai macam, tetapi umumnya berkisah tentang kerajaan-kerajaan.

Salah satu episode pertunjukan yang disiapkan Cipto untuk menyerang Pakubuwono X adalah pertunjukan ketoprak dengan lakon Ki Ageng Mangir. Cerita Ki Ageng Mangir hidup di kalangan masyarakat Jawa. Dia dikenal sakti dan sulit dikalahkan oleh leluhur wangsa Mataram, Panembahan Senopati.

Konon untuk menaklukan Mangir, Panembahan Senopati sampai rela mengumpankan anaknya supaya menjadi istri Ki Ageng Mangir. Umpan ternyata manjur. Putri Panembahan Senopati kemudian diperistri Mangir. Panembahan meminta putrinya untuk membujuk Mangir sowan ke Mataram. Singkat Ki Ageng Mangir setuju dan memutuskan menemui Panembahan Senopati.

Namun saat hendak menghadap Raja, Mangir diminta untuk menanggalkan senjata dan meninggalkan pasukannya. Dia kemudian menghadap Panembahan Senopati. Mangir tanpa curiga melakukan sembah bakti kepada Raja Mataram. Tetapi Sang Raja justru menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Ki Ageng Mangir yang sulit ditaklukkan oleh bala tentara Mataram itu.

Lewat cerita ini, Cipto lagi-lagi ingin menelanjangi asal-usul wangsa Raja Jawa. Dia menganggap bahwa leluhur raja-raja Jawa yang berkuasa pada waktu itu bukanlah kesatria karena telah membunuh musuhnya dengan cara yang licik.

Takashi Shiraishi menulis: "Cipto sudah menampilkan tokoh Panembahan Senopati, sang pendiri Mataram, sebagai seorang ksatria gadungan. Tindakan tokoh ini "keji" dan "pengecut" dan punya kebiasaan "culas" dan "licik". Jika pendirinya saja sudah ksatria gadungan, maka seluruh keturunannya, termasuk Susuhunan Pakubuwana X dan Mangkunegara VH juga ksatria gadungan. Klaim moral dan historis raja-raja Mataram atas kerajaan oleh karenanya perlu ditolak.”

Kondisi Pasca Kemerdekaan

Sementara itu, pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, nasib Solo atau Surakarta memang berbanding terbalik dengan Yogyakarta. Yogyakarta tampil secara aktif selama revolusi kemerdekaan. Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahkan menjadi tokoh yang cukup penting selama masa tersebut. 

Dia menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Posisi yang kemudian membuatnya menjadi sasaran 'pembunuhan' oleh Westerling. Sultan juga merelakan Yogyakarta menjadi 'pengganti' ibu kota saat Jakarta atau Batavia kembali dikuasai Belanda.

Sementara Solo pasca proklamasi, sering dilanda konflik mulai dari konflik suksesi, revolusi sosial, gerakan anti-swapraja, hingga benturan antar ideologi, kiri dan kanan pada 1948, yang berlangsung cukup keras selama revolusi kemerdekaan berlangsung.

Penulis biografi Tan Malaka, Harry A Poeze, dalam Madiun 1948: PKI Bergerak menyebut bahwa saking tidak stabilnya, Solo disebut oleh banyak pihak, termasuk Jenderal AH Nasution sebagai 'Wild West' wilayah tidak bertuan alias liar. Solo menjadi medan pertempuran. Orang bebas menenteng senjata. Bentrokan dan desingan peluru terjadi saban waktu.

"Kubu kiri [FDR] menganggap sangat penting mempertahankan Solo. Karenanya kota ini akan dibuah menjadi sebuah Wild West," tulis Poeze.

Rentetan peristiwa dan aksi kekerasan tersebut membuat tentu membuat kondisi Solo semakin tidak stabil. Pengaruh Kraton dan sisa-sisa kekuasaan feodal di Surakarta terus meredup. Bekas wilayah kekuasaan yang menjadi penopang utama perekonomian Kraton lenyap. 

Padahal Solo dan Yogyakarta pernah memiliki status yang sama sebagai Daerah Istimewa. Penetapan status dilakukan langsung oleh Presiden Soekarno. Namun usia Daerah Istimewa Surakarta (DIS) hanya seumur jagung. Pada tahun 1946, DIS dibubarkan karena konflik dan menguatnya gerakan anti-swapraja.

Gerakan ini dipelopori oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung revolusi sosial dan anti terhadap sisa-sisa kekuasaan feodal. Kelompok yang paling terkenal dalam gerakan ini adalah Barisan Banteng dengan tokohnya dr Moewardi.

 Selain Barisan Banteng, Solo atau Surakarta juga menjadi pusat gerakan Persatuan Perjuangan (PP). Salah satu tokoh gerakan itu adalah Tan Malaka. Kelompok ini mengambil jalan oposisi dan menolak praktik kompromistis pemerintahan Sukarno. Salah satu semboyan PP yang terkenal adalah 'Merdeka 100 Persen!"

Selama gerakan anti-swapraja berkecamuk, para elite Kraton menjadi sasaran kelompok Anti-swapraja. Gerakan ini menculik dan membunuh Patih Sosrodiningrat. Kepatihan dibakar dan hancur lebur. Raja Kasunanan yang masih muda, Pakubuwono XII juga tak luput menjadi sasaran penculikan.

Ada banyak pendapat tentang alasan penculikan tersebut. Campur tangan para pangeran atau elite kraton yang tersisih selama proses suksesi dari Pakubuwono XI ke Pakubuwono XII dianggap berperan cukup penting dalam gegeran di Solo pada waktu itu.

Sementara itu, salah satu publikasi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yang menukil buku seri Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia karya Jenderal Abdul Haris Nasution memaparkan kisruh di Solo terjadi karena raja-raja Surakarta membelot dan mengkhianati republik saat terjadi Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949. 

Pada waktu itu, pihak TNI bahkan telah menyiapkan Kolonel Djatikoesoemo (KSAD pertama), putra Pakubuwana X, diangkat menjadi Susuhunan yang baru dan Letkol Suryo Sularso diangkat menjadi Mangkunegara yang baru. Namun rupanya waktu itu, rakyat dan tentara justru ingin menghapus kekuasaan monarki sama sekali.

Akhirnya Mayor Akhmadi, penguasa militer kota Surakarta, diberi tugas untuk langsung berhubungan dengan istana-istana monarki Surakarta. Dia meminta para raja secara tegas memihak republik. "Jika raja-raja tersebut menolak, akan diambil tindakan sesuai Instruksi Non-Koperasi," demikian dikutip dari publikasi itu.

Karena kondisi yang tidak kondusif, pemerintah pusat kemudian mengambil inisiatif untuk membubarkan DIS. Statusnya menjadi daerah biasa. Pada 1950, bekas daerah tersebut kemudian masuk wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah.

Sejak saat itu jalan sejarah penerus wangsa Mataram Islam itu berubah. Peran Kasunanan dan Mangkunegaran sebagai pusat politik dan kebudayaan Jawa yang cukup berpengaruh, menjadi sebatas simbol budaya itupun semakin meredup karena konflik dan berbagai dinamika lainnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper