Bisnis.com, JAKARTA — Aliansi Akademisi Indonesia mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI untuk mencabut regulasi pengangkatan guru besar atau profesor yang terindikasi penuh kecurangan.
Pasalnya, aliansi yang didukung oleh 1.180 akademisi yang mewakili 245 perguruan tinggi dan institusi akademis lainnya itu menilai saat ini marak terjadi pelanggaran dalam pengangkatan guru besar.
Selain itu, aliansi mengeklaim bahwa pada masa kini ada banyak pejabat dan politisi yang menjadi profesor dengan cara-cara yang melanggar aturan dan etika, serta tidak mencerminkan rasa keadilan.
"Seruan ini akan disebarkan ke berbagai media nasional juga disampaikan ke pejabat terkait melalui berbagai saluran," kata aliansi tersebut, pada Senin (15/7/2024).
Kemudian, aliansi tersebut juga menyerukan lima hal, sebagai buntut maraknya pelanggaran dalam pengangkatan guru besar.
Pertama, para civitas academica perguruan tinggi tetap memegang teguh integritas dan etika akademik dalam mengupayakan capaian jenjang kepangkatan yang lebih tinggi terutama guru besar.
Baca Juga
Kedua, pemerintah yakni Kemendikbud Ristek segera mencabut regulasi yang memudahkan seseorang yang tidak berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi dengan mudah mendapatkan guru besar.
Ketiga, pemerintah segera melakukan reformasi manajemen dan proses pengelolaan kenaikan jenjang dosen, berdasarkan koreksi total atas segala kelemahan sistem yang selama ini dibiarkan.
Keempat, pemerintah segera mencabut jabatan profesor mereka (baik pihak luar maupun dalam kampus) yang sudah berhasil mendapatkannya dengan cara-cara curang berdasarkan investigasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kelima, pemerintah dan universitas menghukum kelompok atau individu yang memiliki kepentingan dan mendapat keuntungan finansial maupun kekuasaan dari tindakan curang ini, termasuk agen jaringan penerbit jurnal predatory internasional.
"Kami menantikan langkah nyata dari pemerintah Mendikbud Ristek dalam merespon masalah amat serius dalam dunia pendidikan tinggi, yang sekaligus mencederai bangsa Indonesia," ujarnya dalam pernyataan resmi.
Dalam keterangan resminya, Aliansi Akademisi Indonesia menegaskan bahwa selama ini telah terbongkar banyak kasus pengajuan guru besar yang terindikasi melanggar etika akademik secara serius, bahkan dapat diduga melanggar hukum.
“Kasus semacam ini telah terjadi bertahun-tahun. Sementara itu terdapat semakin banyak pejabat dan politisi yang berminat dan berhasil, dengan segala cara, memperoleh gelar profesor.”
Hal tersebut dilakukan tanpa tujuan akademik yang jelas dan tanpa memahami dampak kerusakannya bagi dunia ilmu pengetahuan Indonesia.
Masyarakat luas, bahkan kalangan kampus sendiri, belum memahami makna guru besar atau profesor yang artinya adalah guru dan tujuan sebenarnya. Guru besar atau profesor adalah jabatan dan bukan gelar.
Menurut Aliansi tersebut, proses pencapaian guru besar dengan cara-cara curang adalah suatu pelanggaran akademik yang serius yang bisa menjurus perbuatan melanggar hukum dan merugikan bangsa.
Persyaratan menjadi guru besar di Indonesia direduksi sedemikian rupa oleh berbagai regulasi, yang intinya semata diletakkan pada persyaratan kuantitatif.
Persyaratan tersebut meliputi pemenuhan sejumlah kredit tertentu (minimal 850 SKS), memiliki setidaknya satu artikel jurnal terindeks Scopus sebagai penulis pertama.
Selain itu, juga tidak dipersoalkan cara memperoleh jumlah kum dan artikel jurnal. Kondisi ini sangat mudah dimanipulasi sebagaimana diberitakan media secara luas.
Kejadiannya terus berlangsung, sementara pihak pemerintah seakan melakukan pembiaran atas terjadinya tindakan tercela ini, bahkan ditenggarai dilakukan oleh oknum di kementerian sendiri berkonspirasi dengan oknum di universitas serta para oknum (calon) guru besar yang bersangkutan.