Bisnis.com, JAKARTA - Permasalahan mengenai iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan.
Berbagai pihak menyuarakan aspirasinya terkait Tapera. Pemerintah pun terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu setuju dan tidak setuju.
Bagi yang setuju, mengatakan bahwa penolakan Tapera yang masif terjadi di tengah masyarakat didasari karena kurangnya sosialisasi.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Indah Anggoro Putri mengatakan bahwa upaya sosialisasi akan difokuskan melalui Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional, yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Menurutnya, saat ini belum ada penerapan pemotongan upah untuk iuran Tapera. Namun pihaknya akan segera melakukan pembicaraan terkait mekanisme peraturan Tapera, mengingat batas waktu pendaftaran peserta hingga 2027.
"Dalam konteks penolakan, pemahaman masyarakat terhadap Tapera masih minim karena kurangnya sosialisasi yang efektif. Oleh karena itu, langkah-langkah pemerintah untuk memperkenalkan dan menyosialisasikan Tapera dianggap penting," ujarnya, sebagaimana dikutip Antara, pada Rabu (5/6/2024).
Baca Juga
Sejalan dengan itu, anggota Komisi V DPR Hamka B Kady menegaskan bahwa sosialisasi Tapera harus dilakukan secara menyeluruh untuk bisa menyelaraskan tujuan.
"Kebijakan terkait Tapera belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Oleh karena itu, sosialisasi yang komprehensif akan membantu publik memahami tujuan dan sasaran dari kebijakan ini," jelasnya.
Sempat Digaungkan di Era SBY
Di sisi lain, terdapat pula sejumlah pemerintah yang melayangkan ketidaksetujuan terhadap iuran Tapera.
Sebelumnya di masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), iuran Tapera sempat mendapat penolakan.
“Pada waktu itu, isu yang paling besar buat kita adalah mengenai beban dari yang bayar itu si pekerja dan pemberi kerja, kita menghitung bahwa kontribusi dari si pemberi kerja dan si pekerja itu terlalu kecil untuk dapat rumah,” ujar Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri saat di siniar atau podcast Malaka Project, dikutip pada Selasa (4/6/2024).
Menurutnya, jika iuran Tapera yang ditetapkan lebih besar maka pemberi kerja dan pekerja akan sangat terbebani akibat pungutan Tapera.
"Dia kan enggak ngomong satu pegawai kalau dia punya puluhan ribu pegawai kan kali sekian loh bebannya, kemudian juga kalau mau dibikin di pekerjannya dipotong jauh lebih besar lebih berat,” ujar Chatib.
Ekonom Universitas Indonesia tersebut juga menjelaskan alasan Kemenkeu menolak kebijakan Tapera karena sedang berupaya untuk memikirkan rumah yang didapatkan peserta Tapera harus menunggu usia 58 tahun.
Dia pun mempertanyakan bagaimana caranya memberikan kontribusi sesuatu kepada barang yang tidak bisa dikontrol, khususnya kebutuhan akan kepemilikan rumah.
"jadi misalnya gini yang butuh rumah itu mungkin orang umur 30, 40, 20 (tahun), tapi dia baru dapatnya di umur 58 [tahun] berarti dia selama sampai nunggu 58 tahun ya dia harus beli keluarin uang untuk beli rumah sendiri dong,” ujarnya.
Chatib menulai persoalan tersebut belum selesai sehingga undang-undang kebijakan Tapera pun diputuskan untuk ditolak karena pemerintah kala itu belum menemukan titik terang dan harus dipelajari secara mendalam lagi.
“Jadi karena waktu itu situasinya masih belum clear akhirnya wktu itu dipuutuskna untuk undang-undangnya ditolak jadi itu sampai di paripurna waktu itu kita bilang belum ada kesepakatan kita mesti pelajarin secara lebih detail,” ucapnya..
Chatib menyampaikan manajer investasi memiliki kewenangan dalam mengelola keuangan Tapera.
Dia mengingatkan agar tidak hanya melihat dari sisi suplai, tetapi dilihat juga dari sisi orang yang ingin membangun rumahnya sesuai selera.
“Nah, jangan itu kemudian dianggap bahwa supaya lihatnya hanya dari segi suplai, cukup uang untuk membangun rumah ngatasin backlog, dia membangun rumah untuk rumah yang memang dia mau buat,” ujarnya.