Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

6 Alasan Buruh Tuntut Jokowi Cabut PP Tapera

Buruh menyampaikan 6 alasan kenapa PP Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera harus dicabut.
Konferensi pers Partai Buruh di May Day 2023 / BISNIS - Ni Luh Angela
Konferensi pers Partai Buruh di May Day 2023 / BISNIS - Ni Luh Angela

Bisnis.com, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan 6 alasan supaya pemerintah mencabut aturan Peraturan Pemerintah No.21/2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera).

Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan setidaknya ada 6 (enam) alasan mengapa Tapera harus dicabut. Pertama, kata dia, karena

ketidakpastian memiliki rumah. Menurutnya sengan potongan iuran sebesar 3% dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi.

Alasan selanjutnya, kata dia adalah karena pemerintah lepas tanggung jawab. Said menegaskan dalam PP Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.

Dia menjelaskan iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera.

“Dengan demikian, Pemerintah lepas dari tanggung jawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan,” ujarnya melalui keterangan resmi, Senin (3/6/2024).

Dia melanjutkan alasan penting lainnya adalah karena Tapera membebani biaya hidup buruh. Dia berpendapat di tengah daya beli buruh yang turun 30% dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar 2,5% yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Menurutnya potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12% dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5%, iuran Jaminan Kesehatan 1%, iuran Jaminan Pensiun 1%, iuran Jaminan Hari Tua 2%, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5% (dua koma lima persen).

“Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh,” terangnya.

Tak hanya itu, dia menilai dana dari program ini juga rawan dikorupsi. Dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan. Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance).

Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.

“Sementara itu, model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan penyelenggaranya adalah pemerintah,” imbuhnya.

Sejauh ini, dia pun melihat Tapera sebagai tabungan yang memaksa. Hal itu dikarenakan pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.

Kemudian, karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan.

Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan.

Terakhir, dia memaparkan alasan penolakan buruh terhadap Tapera adalah karena ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera. Untuk PNS, TNI, dan Polri, dia memproyeksikan keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Namun untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi. Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang di-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.

“Atas dasar enam alasan tersebut, Partai Buruh dan KSPI akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada hari Kamis tanggal 6 Juni di Istana Negara, Jakarta, dengan tuntutan untuk mencabut PP No. 2124 tentang Tapera dan merevisi UU Tapera,”tekannya..

Selain itu, buruh akan menyuarakan tuntutan untuk mencabut PP tentang program Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan, menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, mencabut omnibus law UU Cipta Kerja, dan Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM).

Selain aksi pada hari Kamis, Partai Buruh dan KSPI dalam waktu dekat akan mengajukan judicial review UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan judicial review PP Tapera ke Mahkamah Agung.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper