Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menerima kunjungan dari Sekretaris Jendral (Sekjen) Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Mathias Cormann akhir Mei 2024.
Peneliti dan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai bahwa geliat tersebut memang kian menunjukkan bahwa Indonesia memang menjadikan investasi sebagai berhala yang harus masuk ke Negara.
Menurutnya, Kepala Negara memang wajar melakukan segala cara dan upaya untuk menarik investasi masuk ke Indonesia, termasuk bergabung ke organisasi global.
Di sisi lain, kata Huda keuntungan bagi Indonesia tentu saja jaringan kerjasama yang pasti akan menguat jika Indonesia masuk ke OECD. “Dengan jaringan yang kuat, investasi maupun perdagangan juga. Liberalisasi menjadi hal yang diinginkan oleh Jokowi,” ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (18/5/2024).
Namun di sisi lain, Huda menekankan bahwa standar pengelolaan ekonomi Negara pun akan mengikuti standar OECD. Sehingga akan ada pekerjaan rumah yang cukup besar agar standarisasi pengelolaan ekonomi sesuai standar organisasi tersebut.
Dia meyakini bahwa sebenarnya terdapat hal-hal fundamental yang belum bisa Indonesia lakukan demi mengikuti standar OECD terutama soal hukum dan birokrasi.
Baca Juga
“Mungkin ada ratusan standar pengelolaan ekonomi yang belum terstandar OECD, ini harus disesuaikan. Begitu pun ketika disesuaikan juga harus selaras dengan arah ekonomi nasional. Liberalisasi ekonomi di OECD harus disesuaikan dengan aturan lokal. Maka jangan heran nanti akan banyak aturan liberal muncul,” pungkas Huda.
Sebelumnya, Presiden asal Surakarta itu menekankan pentingnya persiapan Indonesia sebagai negara aksesi dalam proses menjadi negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam sebuah rapat yang digelar di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (16/5/2024).
Mengingat, Indonesia telah menjadi mitra OECD sejak 2007 dan berpartisipasi dalam program regional Asia Tenggara sejak 2014.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melaporkan bahwa Indonesia telah diterima sebagai negara aksesi OECD bersamaan dengan Argentina dalam OECD Ministerial Council Meeting (MCM) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Paris, dua pekan lalu tepatnya 2-3 Mei 2024.
“Dalam pertemuan Ministerial Council Meeting tersebut, Indonesia bersama Argentina diterima permohonannya. Argentina, sampai rapat kemarin itu, berproses selama lima tahun. Sedangkan Indonesia mulai dari surat yang dikirim OECD itu berproses selama tujuh bulan,” ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (16/5/2024).
Airlangga menambahkan, saat ini terdapat sejumlah negara yang statusnya sama seperti Indonesia, yaitu Argentina, Brazil, Bulgaria, Kroasia, Peru, dan Rumania. Negara-negara tersebut sudah berproses rata-rata lebih dari dua tahun, bahkan Brazil sudah mendekati lima tahun.
“Praktik-praktik yang dilakukan itu beberapa negara yang sudah menjadi anggota dalam aksesi itu Kosta Rika butuh waktu enam tahun, Kolombia tujuh tahun, Cile tiga tahun. Jadi kita harus belajar dari Cile bagaimana mereka bisa menjadi anggota dalam waktu yang lebih cepat,” jelasnya.
Menurutnya, keterlibatan dalam OECD diharapkan akan membawa dampak ekonomi positif bagi Indonesia, melalui peningkatan investasi dan adopsi praktik terbaik global, serta memperkuat posisi Indonesia dalam ekosistem semikonduktor global.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar memastikan bahwa tidak ada kendala dari sisi LHK dalam proses persiapan Indonesia untuk masuk dalam keanggotaan lembaga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Penyebabnya, Siri mengaku bahwa dalam proses menjadi anggota Indonesia terus mengikuti standar internasional serta referensi yang bersumber dari Negara-negara maju.
“Saya percaya memang nanti banyak penyesuaian lagi, standarnya terutama, dan lain-lain, tetapi sejauh ini enggak ada masalah [dari sisi LHK],” katanya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Dia menjabarkan dari sisi OECD dan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) untuk aspek lingkungan lebih menekankan atensi mengenai ekonomi hijau yang sudah ada dokumen Green Growth Policy Review pada 2019.
Atensi lainnya, kata Siti, mengenai rantai supply, deforestasi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) moratoriun hutan primer dan gambut, capaian penurunan emisi, law eforcement, agroforestry kopi dan coklat, legalitas lahan sawit, sampah plastik, ekonomi sirkuler, dan kualitas udara.
Dia menilai apabila Indonesia ingin menjadi anggota tetap maka harus memenuhi harapan dari OECD yang juga sangat konsern soal transparansi dalam pengembangan kebijakan, regulasi, dan tentang akuntabilitas.
“Perkiraan saya akan terjadi nanti review kebijakan, regulasi dan prosedur kerja yang harus memenuhi kaidah scientific dan transparan bagi internasional. Nanti banyak Kementerian/Lembaga akan menjadi partner kerja Komite OECD,” pungkas Siti.