SUATU malam di pengujung kalender April ceria, seusai acara diskusi Bisnis Indonesia Shipping and Logistics Forum 2024, saya terlibat perbincangan kecil dengan seorang kolega di sebuah ballroom hotel bintang lima. Dia saya kenal sebagai seorang pentolan di lembaga pemikir logistik maritim.
Gaya bicaranya datar, singkat, tetapi menohok. Tampaknya dia belum puas dengan forum diskusi itu. Lantas melanjutkan unek-uneknya kepada saya. Seraya bicara ngalor-ngidul membahas tentang berbagai hambatan konektivitas di bidang kelautan, dia berkata, “Pemerintah harus segera mempertimbangkan pendirian Kementerian Pelayaran atau Ministry of Shipping.”
Kalimat itu membuat saya mengernyitkan dahi. Bukan sebagai tanda tidak mengerti, tetapi lebih kepada ekspresi ketidaksetujuan saya. Ribuan pertanyaan langsung berkelindan di atas kepala karena lontaran idenya yang menurut saya, cukup gila alias out of the box.
Bayangkan, jika ide ini dibawa ke ruang publik, banyak orang yang bakal langsung menghakimi ide ini. Alasannya jelas, karena pembentukan Kementerian Pelayaran pasti dituding tidak senapas dengan penghematan anggaran dan semangat efisiensi birokrasi. Jurang kesenjangan bisa semakin menganga.
Setidaknya ada tiga kementerian eksis yang ditabrak oleh Kementerian Pelayaran, terutama lembaga yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan sektor maritim dan transportasi.
Pertama, dan yang pasti adalah Kementerian Perhubungan, khususnya Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Lembaga eselon 1 ini sehari-harinya sudah mengatur segala aspek terkait dengan transportasi laut dan kepelabuhanan. Tumpang tindih dari lahirnya Kementerian Pelayaran bisa terjadi dalam hal regulasi, manajemen infrastruktur pelabuhan, dan keselamatan pelayaran.
Baca Juga
Kedua, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian ini berfokus pada pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Ada potensi tumpang tindih dalam pengelolaan wilayah pesisir, konservasi laut, dan penggunaan sumber daya alam.
Ketiga, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Kementerian ini memiliki peran koordinasi atas kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan sektor maritim, termasuk pengembangan ekonomi maritim dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.
Dari sisi birokrasi saja sudah berpotensi tumpang tindih, sedangkan manajemen sumber daya alam dan infrastruktur kelautan pun tentu demikian juga. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin pemerintah dapat mengakselerasi pengembangan ekonomi maritim?
Saya juga membayangkan bahwa pembentukan kementerian baru akan membawa konsekuensi logis pengalokasian anggaran awal yang besar untuk infrastruktur, teknologi, dan perekrutan SDM. Apakah pemerintah punya dana?
Repotnya lagi, perubahan dalam struktur pemerintahan mungkin bakal menemui resistensi dari sebagian pemangku kepentingan (stakeholders) seperti para pejabat serta sektor-sektor yang terbiasa dengan tata kelola sebelumnya. Penerimaan dari masyarakat dan sektor bisnis juga penting untuk diketahui. Pokoknya ruwet.
Paradoks Birokrasi RI
Akan tetapi, kalau masalahnya sekadar rasa khawatir bakal terjadinya tumpang tindih birokrasi antar-kementerian/lembaga (K/L) dan inefisiensi anggaran, ada atau tidaknya kementerian baru pun tumpang tindih sesungguhnya terus terjadi. Termasuk pemborosan anggaran juga bisa dilihat kasat mata.
Bukankah kritik tentang semua itu terus diamplifikasi oleh para para pendekar tata negara, ekonom, akademisi, praktisi, hingga kebisingan warganet negeri ini sejak dulu sampai sekarang?
Yang perlu ditelusuri segera adalah apakah langkah konkret dan komitmen memangkas inefisiensi di semua lini K/L berjalan baik atau tidak selama ini? Reformasi birokrasi sudah sampai mana? Di sinilah ide pendirian Kementerian Pelayaran berani menampilkan diri untuk diuji publik.
Dasar analisisnya begini. Saya coba menangkap intisari ihwal paradoks birokrasi dan penyelesaiannya, dengan mengutip pemikiran Prabowo Subianto, Presiden Indonesia terpilih periode 2024—2029 yang baru memenangkan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi.
Prabowo memberikan goresan kritis dan sistematis soal paradoks birokrasi serta obat mujarabnya secara paripurna di dalam sebuah karya buku berjudul Paradoks Indonesia dan Solusinya.
Sebenarnya, Prabowo menguraikan banyak paradoks. Namun, ada catatan khusus tentang paradoks birokrasi. Menurutnya, lembaga-lembaga pemerintah yang berdiri justru kerap ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik partai pendukung pemerintah, tetapi mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi dan fungsi interal lembaga.
Untuk menghilangkan paradoks itu, lembaga negara harus fokus kembali pada tujuan semula demi pembangunan nasional berintegritas dan memajukan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, realitas politik juga harus berangkat dari cita-cita luhur tersebut termasuk menekan habis korupsi dan salah kelola lembaga.
Kalau pemikiran Prabowo di atas dijadikan landasan memerangi paradoks birokrasi, kiranya tepat untuk berbaik sangka atas pembentukan Kementerian Pelayaran. Sebab, kementerian baru ini berpeluang punya peran untuk menghilangkan paradoks birokrasi.
Sampai di sini, saya mulai membuka mata dan sedikit-sedikit mengoreksi ketidaksetujuan saya sendiri atas ide pembentukan Kementerian Pelayaran di awal obrolan dengan teman. My sincere appreciation for the enlightening book, Mr. President!
Ide ini mungkin bisa menjadi angin segar supaya pemerintah bekerja lebih terfokus, terarah, efisien, serta kuat dalam proses bargaining politik dan birokrasi di level lokal dan global. Harapannya, pengembangan konektivitas maritim yang selama ini mengalami kuldesak di sejumlah lembaga bisa terpecahkan oleh Kementerian Pelayaran.
Jangan Memunggungi Lautan
Presiden Joko Widodo pada periode kedua jabatannya tercatat pernah serius mewacanakan penguatan sektor maritim Indonesia. Jokowi meminta bangsa ini jangan sesekali memunggungi lautan, karena di situlah letak masa depan bangsa ini.
Sampai-sampai beliau memerintahkan agar bangunan rumah menghadap ke sungai sebagai penghormatan kepada nenek moyang yang pernah berjaya di samudera. Sungai adalah simbol, tempat para leluhur melangkahkan kaki pertama sebelum mengarungi ganasnya lautan.
Akan tetapi, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang bertabur 16.056 pulau di dalamnya, gerak pembangunan infrastruktur maritim hingga pengawasan sumber daya di dalamnya justru terbilang sangat minimalis.
Bayangkan. Indonesia memiliki area yuridis sangat luas yakni 7,8 juta km2. Dari wilayah sebesar itu, sekitar 5,9 juta km2 alias 75,64% areanya diisi air laut. Sisanya, 1,9 juta km2 terbujur daratan.
Negeri yang memiliki lautan lebih luas ketimbang daratan konsekuensinya sangat berat karena membutuhkan kepiawaian dalam pengelolaan keamanan, kerapian birokrasi dari sisi pengelolaan sumber daya, serta kewenangan yang kuat dan cekatan seperti sebuah lembaga kementerian khusus.
Namun, komitmen Jokowi agar bangsa ini tak memunggungi lautan saat itu kurang mampu diimplementasikan jajaran di bawahnya. Tidak ada roadmap terperinci, holistik, dan komprehensif. Penataan birokrasi yang terintegrasi agar dapat menggerakkan seluruh sumber daya juga tak terlihat. Padahal, di dalam satu visinya, Jokowi ingin membuat Indonesia menjadi poros maritim dunia (PMD).
Di tengah jalan, Presiden Jokowi justru lebih fokus menggencarkan pembangunan infrastruktur yang seluruhnya terfokus di daratan. Segala sumber daya, pendanaan, dan birokrasi dikerahkan seluruhnya hingga titik darah penghabisan demi daratan.
Mirisnya lagi, ketika kampanye Pilpres 2024 digelar, ketiga kandidat presiden dan wapres bahkan luput menguliti habis tentang arti penting sektor kemaritiman bagi kemandirian negara dan bangsa.
Pada akhirnya, semua seolah mafhum dan menutup mata atas fakta yang terjadi selama bertahun-tahun. Apa itu? Lembaga yang diberi kewenangan untuk mengurusi masalah konektivitas maritim baru setingkat direktorat jenderal, yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di bawah Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Kendati di bawah kewenangan sebuah institusi kementerian, tidak secara otomatis otoritas transportasi kelautan memiliki kekuatan penuh. Sebab, peluang seorang menteri yang sedang berkuasa sangat mungkin kurang memberi prioritas kepada maritim.
Seorang menteri bisa gonta-ganti. Satu menteri mungkin bisa sangat fokus mengurusi transportasi udara. Lain menteri, mungkin lebih tertarik mengurusi perkeretaapian. Itulah sebabnya negeri ini sangat memerlukan kementerian yang fokus pada satu tujuan memajukan konektivitas maritim.
Namun, kalau urusan kemaritiman diserahkan ke institusi berstatus setara eselon 1, bisa membuat direktorat jenderal menjadi eksekutor yang tanggung, canggung, dan serba bingung. Seorang dirjen bisa tak berdaya menerbitkan berbagai kebijakan besar dan strategis. Akhirnya, dirjen hanya berharap menteri setuju dan lekas dapat tanda tangan. Kalau apes, dia cuma manggut-manggut misalkan menterinya tidak setuju.
Kolega saya tadi juga menerangkan bahwa untuk mewujudkan PMD dibutuhkan program Tol Laut (Maritime Highway) guna menciptakan konektivitas baru dan menekan disparitas harga barang dan kebutuhan di Indonesia timur.
Namun, untuk mengurusi PMD bervisi global melalui Tol Laut, pengelolaannya selama ini diserahkan ke unit eselon 2 Ditjen Hubla yaitu Direktorat Lalu Lintas Laut. Artinya, direktorat ini mendapat tambahan tugas besar dari tugas hariannya yang mengurusi pelayaran domestik. How come?
Lalu, kritik pun berdatangan atas kebijakan Tol Laut Jokowi yang tidak berjalan seperti harapan publik karena tak mampu menekan disparitas harga barang. Namun, hal ini sudah dibantah oleh Kemenhub. Dalihnya adalah bahwa program Tol Laut tetap sukses karena berhasil menghubungkan wilayah dari Jawa ke daerah tertinggal, terluar, terdepan, dan perbatasan (3TP) Indonesia.
Namun, kritik publik yang menyebut Indonesia sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia tetapi tak memiliki perangkat birokrasi di kementerian khusus bidang konektivitas maritim, tak terbendung. Anggaplah ini sebuah bentuk ekspektasi yang melebihi realisasi.
Itulah sebabnya, isu-isu strategis seperti pengembangan infrastruktur pelabuhan, keamanan maritim, dan pengelolaan sumber daya laut menjadi tidak selalu mendapatkan perhatian optimal dan terintegrasi karena episentrum birokrasinya yang terpisah-pisah dan berada di level yang belum pas.
Dalam bayangan saya, Kementerian Pelayaran akan memiliki kapasitas untuk menyusun kebijakan yang lebih terfokus dan komprehensif di bidang kelautan, pelayaran, dan keamanan. Dengan keberadaan kementerian yang berdedikasi khusus, masalah ketidakseimbangan infrastruktur antar-wilayah, khususnya di timur Indonesia, dapat diatasi lebih efektif dan presisi.
Pembangunan infrastruktur pelabuhan dan peningkatan layanan logistik akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan berpeluang lebih mudah menyelesaikan problematika disparitas ekonomi antarpulau.
Masalah ini juga dicatat oleh Kemenhub. Selain disparitas ekonomi, problem konektivitas daerah terluar, perbatasan, dan belum berkembang, juga biaya logistik yang tinggi hingga keterbatasan finansial, terus menjadi tantangan.
Dengan adanya Kementerian Pelayaran penguatan sistem keamanan dan keselamatan maritim Indonesia bisa dioptimalkan. Adanya peningkatan pengawasan dan perlindungan terhadap perairan Indonesia, pemerintah bisa mereduksi tindakan ilegal seperti perompakan, pencurian ikan, serta pelanggaran teritorial yang selama ini menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional dan ekonomi maritim.
Menteri Pelayaran diharapkan juga bisa selalu mewakili Indonesia agar lebih aktif, efektif, dan fokus dalam berbagai diplomasi maritim internasional.
Perundingan dan kerja sama dengan negara lain serta organisasi internasional juga dapat memperkuat klaim dan pengaruh Indonesia dalam isu-isu maritim global, sekaligus memajukan kepentingan negara di forum-forum dunia.
Tak pernah terbayang saya jadi terseret semakin dalam ikut memikirkan Ministry of Shipping di tengah paradoks birokrasi di dalam tubuh kementerian/lembaga (K/L) yang telah menahun. Otak saya memanas. Rencana untuk sedikit bersantai sambil ngopi-ngopi melepas penat pun ambyar seketika.
Sinkronisasi Lembaga
Sebagai jurnalis yang menaruh minat tinggi pada logistik maritim, saya pilih melupakan seruputan kopi dan sedikit ingin melanjutkan omon-omon ini sejenak dengan kolega saya.
Pembentukan K/L baru seperti Kementerian Pelayaran tentu menjadi sebuah konsekuensi logis terjadinya sinkronisasi antar-lembaga yang polanya dapat berupa penggabungan, peningkatan, pengalihan, hingga eliminasi demi menghindari duplikasi fungsi.
Langkah pertama, kita mungkin perlu mengklarifikasi dan memperjelas dahulu tujuan lembaga baru ini sebelum didirikan. Kita asumsikan saja bahwa Kementerian Pelayaran akan berwenang mengurusi masalah infrastruktur konektivitas maritim, sistem rantai pasokan dan logistik laut, termasuk jalur air, pengelolaan sumber daya kelautan, dan keamanan laut.
Kalau pendirian Kementerian Pelayaran tujuan awalnya didesain untuk mencabut status fungsi dan kewenangan Ditjen Hubla Kemenhub, otomatis lembaga eselon 1 ini naik kelas menjadi Kementerian Pelayaran.
Dengan pencabutan 1 direktorat jenderalnya, garis kewenangan Kemenhub menjadi berkurang dengan segala dampak yang mengiringinya. Termasuk status kekaryaan ASN di dalamnya dan jumlah anggaran K/L.
Pencabutan 1 direktorat jenderal tentu akan mengurangi tumpang tindih birokrasi di Kemenhub. Satu problem besar ini bisa terpecahkan.
Selanjutnya, untuk mencegah tumpang tindih birokrasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Pelayaran (KP) dapat mengkaji lebih cermat, apakah penggabungan fungsi organisasi dengan KKP akan memperkuat Kementerian Pelayaran atau justru memperlemah dan memperumit situasi?
Apakah visi dan misi KKP senapas dengan KP? Opini saya, KP harus berfungsi membantu untuk meningkatkan peran KKP dari sisi infrastruktur konektivitas maritim dan pengawasan sumber daya kelautan.
KP bukan mengambil alih seluruh pekerjaan KKP yang berwenang mengelola kekayaan laut, perikanan dan peningkatan daya saingnya.
Peran KP bisa meningkatkan koordinasi dengan KKP dari sisi infrastruktur konektivitas dan keamanan untuk pengelolaan wilayah pesisir, konservasi laut, ruang laut, dan penggunaan sumber daya alam. Semua peran KP dan KKP harus sinergis dengan tujuan awalnya yaitu memperkuat posisi Indonesia sebagai poros maritim global yang dinamis.
Mengingat pembangunan konektivitas maritim dan perlindungan sumber daya kelautan membutuhkan pengamanan laut, peran strategis Badan Keamanan Laut (Bakamla) juga harus ditinjau lebih dalam.
Bakamla, yang merupakan badan paramiliter negara di bawah koordinasi Menteri Koordinator Poliltik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), berpeluang dapat disatukan ke dalam Kementerian Pelayaran.
Sebab, ada jejak Presiden Jokowi yang menggunakan Bakamla untuk mendukung terwujudnya visi PMD tadi. Apalagi, di tengah gencarnya isu Bakamla hendak mengakuisisi Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kemenhub, langkah penyatuan Bakamla ke dalam Kementerian Pelayaran menjadi gagasan yang masuk akal.
Jika mampu disatukan, nomenklatur Kementerian Pelayaran bisa ditambah menjadi Kementerian Pelayaran dan Keamanan Laut. Pengamanan lautan yang terintegrasi ini akan memudahkan para pemangku kepentingan maritim semisal KKP dari aspek koordinasi pengamanan lautan.
Permintaan pemberantasan illegal fishing, misalnya, dapat dikerjakan oleh kementerian baru ini. Otomatis, pembentukan satgas illegal fishing oleh KKP pada 2017 dapat melebur karena sudah ada lembaga yang lebih permanen.
Adapun, terkait dengan rencana pembentukan coast guard yang bertahun-tahun tak pernah jadi kenyataan, berpeluang dapat dikerjakan satu atap secara akseleratif oleh kementerian baru ini seiring dengan naiknya status Ditjen Hubla Kemenhub ke dalam Kementerian Pelayaran.
Lantas, bagaimana kekhawatiran akan terjadinya tumpang tindih dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves)? Kemenkomarves adalah kementerian baru yang dibentuk pada periode pertama Jokowi. Tujuan awalnya untuk mempercepat pengembangan isu kemaritiman.
Namun, seiring dengan sang nakhoda yang banting haluan ke infrastruktur darat, peran kemaritiman Kemenkomarves tidak terlalu menggema. Apalagi, suasana kebatinan sang menko, yang menjadi orang kepercayaan Presiden Jokowi, lebih tertarik mengurusi bidang investasi.
Sebagai konduktor yang mengawal kemaritiman, peran dan fungsi Kemenkomarves ke depan harus lebih seimbang antara urusan investasi dan kemaritiman jika kementerian baru ini dapat terwujud.
Pada intinya, upaya peleburan atau penggabungan direktorat jenderal atau unit-unit tertentu dari kementerian lain ke dalam Kementerian Pelayaran dan Keamanan Laut bisa menjadi langkah yang perlu dipertimbangkan.
Namun, keputusan untuk menggabungkan beberapa direktorat jenderal harus didasarkan pada analisis mendalam mengenai efektivitas dan efisiensi operasional. Tak lupa pula dukungan politik, aturan hukum, dan administrasi yang kuat.
Yang pasti, utak-atik lembaga birokrasi untuk kementerian baru harapannya bisa mereduksi tumpang tindih birokrasi dan menciptakan sinergi lebih baik dalam pengelolaan sektor maritim. Persis seperti cita-cita Prabowo yang hendak membabat habis paradoks birokrasi negeri ini.
Dari sisi hukum dan perundang-undangan di Indonesia, pembentukan kementerian baru kabarnya memungkinkan. Namun, ini memerlukan proses legislatif yang melibatkan beberapa tahapan penting.
Karena saya tak paham mengenai aspek hukum, alangkah bijak pembahasan hukum kita serahkan kepada para pakar hukum tata negara.
Yang jelas, pembentukan kementerian baru juga menegaskan komitmen politik pemerintahan Presiden Prabowo dalam menggelorakan pengelolaan sektor maritim sebagai bagian dari kedaulatan negara. Hitung-hitung sebagai kompensasi karena soal maritim tak terucap di dalam debat pilpres Februari lalu.
Perlu digarisbawahi bahwa dinamika proses pendiriannya harus disertai dengan rencana strategis yang matang, dukungan politik yang kuat, serta kerja sama dan koordinasi yang efektif di antara berbagai pemangku kepentingan.
Dengan pendekatan yang tepat, Kementerian Pelayaran dan Keamanan Laut bisa bermanfaat untuk mengoptimalkan sektor maritim Indonesia. Pada gilirannya akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial di seluruh negeri.
Setelah lebih banyak menyimak, saya kok jadi sepakat dan cukup tercerahkan oleh penjelasan kolega saya tadi tentang ide pembentukan kementerian baru, asalkan ada langkah-langkah konkret untuk mengatasi potensi tumpang tindih dan inefisiensi.
Saya sebenarnya masih punya pertanyaan lain yang lebih teknis. Sayangnya, semua yang ingin saya lontarkan dan berbagai argumentasi untuk kawan satu ini tidak berlanjut. Pikiran ini sudah cukup ruwet.
Saya cuma teringat petuah om Karl Marx, kalau tak berani berdialektika, bersikaplah seperti eyang Hegel yang membiarkan dialektika cukup berjalan di atas kepalamu saja. Simpan baik-baik semua diskursus dalam memorimu dan tak perlu dikatakan apalagi diperjuangkan.
Makanya, saya hanya berkata singkat, “Ide bos soal ini sangat brilian dan revolusioner. Semoga Pak Prabowo mendengar dan secepatnya memanggil ente ke Istana.” Dia hanya terkekeh. Tak terasa waktu sudah semakin malam. Saatnya untuk pulang. Kami pun berpisah.