Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Eks Hakim Konstitusi Sentil DPR Soal Substansi Revisi UU MK

Eks Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) I Dewa Gede Palguna menyinggung peran DPR terkait substansi revisi UU MK.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra memimpin jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA – Eks Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) I Dewa Gede Palguna menyinggung peran DPR terkait substansi Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Keempat UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi alias revisi UU MK.

Menurut Palguna, terdapat banyak hal yang tak pernah ditambahkan dalam rencana perubahan UU MK, padahal dapat meningkatkan muruah dan menjawab kebutuhan publik terhadap eksistensi MK.

“Satu, melengkapi ketentuan hukum acara di UU MK. Hukum acara untuk apa? Salah satunya adalah tentang pemilihan calon presiden. Itu sampai saat ini masih diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi [PMK],” katanya dalam diskusi ‘Sembunyi-sembunyi Revisi UU MK Lagi’ secara daring, Kamis (16/5/2024).

Hal kedua berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan pembubaran partai politik. Menurut Palguna, kewenangan itu saat ini juga masih diatur di dalam PMK.

Padahal, menurut Palguna, tataran perkara tersebut adalah materi muatan undang-undang, bukan lagi Peraturan MK. Hal ini mestinya diselesaikan untuk menunjukkan kemerdekaan MK sebagai lembaga peradilan.

“Ketiga, warga negara yang dirugikan oleh norma UU yang bertentangan dengan UUD sudah bisa mengujinya ke MK. Tetapi, bagaimana kalau misalnya ada orang yang ketika diadili di peradilan umum baru menyadari bahwa norma UU yang dijadikan dasar mengadili dia itu ternyata bertentangan dengan UUD. Dia baru menyadari, sementara itu belum sempat diuji di MK. Ini yang namanya concrete judicial review atau constitutional question,” lanjut Ketua Majelis Kehormatan MK (MKMK) ini.

Palguna mencontohkan, MK di berbagai negara seperti Jerman telah menerapkan konsep concrete judicial review itu. Pengadilan umum Jerman akan menanti putusan MK Jerman sebelum menentukan lanjut atau tidaknya perkara.

Dengan demikian, warga negara setempat dapat mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum ketika berperkara di pengadilan.

“Itu adalah bentuk perlindungan kepada warga negara. Bisa di-insert lewat perubahan UU MK, tetapi itu juga yang tidak dilakukan oleh pembentuk UU [DPR]. Padahal nyatanya demikian kalau ingin menguatkan MK sebagai pengawal konstitusi,” tegas Palguna.

Sebelumnya, Komisi III DPR RI bersama pemerintah telah menyetujui RUU tentang Perubahan Keempat UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk dibawa ke Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Persetujuan atas revisi UU MK itu ditetapkan dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) yang mewakili pemerintah pada Senin (13/5/2024) lalu.

Hal tersebut memancing pertanyaan publik. Selain karena prosesnya yang dinilai terburu-buru, persetujuan itu dilakukan DPR saat masih berada pada masa reses, karena masa sidang selanjutnya baru dimulai pada keesokan harinya, Selasa (14/5/2024).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper