Bisnis.com, JAKARTA -- Peluang rekonsiliasi antara Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin tipis. Elite PDI Perjuangan (PDIP) tidak lagi memandang Jokowi sebagai bagian dari keluarga besar partai. Jokowi telah dianggap berseberangan dan berada di pihak lawan.
"Ah orang sudah di sebelah sana. Bagaimana masih mau dibilang bagian dari PDIP. Yang benar saja," ujar politikus PDIP Komarudin Watubun belum lama ini.
Jokowi dan PDIP, khususnya dengan Megawati Soekarnoputri, telah pecah kongsi sejak pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Tensi hubungan antara kedua belah pihak terus naik. Aksi saling sindir dan saling serang wacana baik di media mainstream maupun media sosial menjadi suatu pemandangan yang lazim antara kedua belah pihak.
Absennya PDIP dan pasangan calon presiden-wakil presiden usungannya yakni Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, dalam acara penetapan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden tidak lepas dari ontran-ontran proses Pilpres 2024.
Menariknya, sampai sekarang publik masih belum mengetahui secara jelas apa yang memicu perseteruan itu. Publik hanya bisa menafsirkan keretakan hubungan antara dua bekas sekutu itu dari gesture dan statemen yang disampaikan baik oleh Megawati, elite PDIP, dan Jokowi.
Kendati demikian, Jokowi dan PDIP, khususnya Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, adalah dua kekuatan yang cukup berpengaruh dalam politik saat ini. Keduanya sangat identik. Sebelum pecah, karena perbedaan orientasi politik pada Pemilu 2024, banyak baliho PDIP yang menampilkan sosok Bung Karno, Megawati dan Jokowi.
Baca Juga
Tak hanya itu, Jokowi dan PDIP adalah dua kekuatan politik yang terbukti tidak pernah kalah dalam dua pemilihan umum. PDIP berhasil menjadi partai pemenang pemilu karena memperoleh coattail effect dari popularitas Jokowi.
Jokowi harus diakui adalah sosok kunci di balik kemenangan PDIP usai gagal pada Pemilu 2004 dan 2009.
Sekadar menarik ke belakang, pada Pemilu multi partai tahun 1999, PDIP berhasil menjadi partai pemenang dengan 33,7 persen suara. Sayangnya meski tampil sebagai pemenang pemilu, Megawati gagal menjadi presiden setelah kalah voting melawan Gus Dur.
Status PDIP sebagai pemenang pemilu juga tak berlangsung lama, pada Pemilu 2004, suara PDIP turun cukup signifikan. PDIP hanya memperoleh suara sebanyak 18,9 persen, tren ini berlanjut pada tahun 2009 yang hanya sebanyak 14 persen suara.
Beruntung pada tahun 2014, situasinya agak berbalik, sosok Joko Widodo berhasil meningkatkan elektabilitas partai. Jokowi effect mengantarkan kembali PDIP sebagai partai mayoritas dengan suara 18,9 persen suara. Kinerja positif tersebut berhasil mengantarkan Joko Widodo sebagai Presiden RI.
Tren positif perolehan suara berlanjut pada tahun 2019. PDIP memperoleh 19,3 persen dan mengantarkan Jokowi untuk kedua kalinya menjabat sebagai presiden.
Namun setelah ontran-ontran Piala Dunia U-20 hingga proses Pilpres 2024 dan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto, hubungan keduanya seperti air dan api. Jokowi terakhir kali bertemu Megawati September lalu, ketika Rakernas PDIP. Setelah itu, belum ada satupun momen yang menyatukan dua kekuatan politik tersebut, termasuk saat lebaran beberapa waktu lalu.
Sebaliknya, para politikus PDIP, termasuk Megawati juga berulangkali mengkritik pemerintahan Jokowi. Mega, misalnya, dalam pidato di HUT ke 51 PDIP Januari lalu, mengungkapkan bahwa usia partainya yang lebih dari 5 dasawarsa bukan karena jasa siapapun. Bukan pula jasa presiden. “51 tahun bisa begini bukan karena elite, bukan presiden, bukan menteri, tetapi rakyat yang mendukung kita.”
Upaya Rekonsiliasi
Sejatinya upaya untuk merekonsiliasi hubungan Megawati dan Jokowi pernah dilakukan sebelum Pilpres 2024. Konon, kubu Jokowi telah berinisiatif untuk meminta Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono X, untuk menjembatani pertemuan tersebut.
Sultan membenarkan hal itu. Ia mengungkapkan Jokowi hanya meminta tolong dan inisiatif untuk bertemu dengan Megawati tetap menjadi hak pribadi dan kewenangan dari presiden.
Sultan menjelaskan, dalam konteks pembicaraan itu dirinya hanya diminta untuk memfasilitasi jika memang Jokowi berkehendak demikian. "Ya makanya itu, kan bukan saya yang ambil inisiatif, yang ambil inisiatif itu kan Bapak Presiden sendiri. Ya terserah Presiden mau perlu ketemu Mbak Mega ya saya fasilitasi," ujarnya.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, pertemuan itu tidak pernah terwujud. Hubungan kedua tokoh politik disinyalir masih renggang. Elite-elite PDIP telah mengonfirmasi hal itu.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto, misalnya, mengungkap sebenarnya tidak menutup kemungkinan pertemuan antara Mega dengan Jokowi. Hanya saja, Hasto mengungkapkan ada usulan dari anak ranting PDIP supaya sebelum ketemu Megawati, Jokowi terlebih dahulu menemui mereka.
"Anak ranting justru mengatakan: 'sebentar dulu bertemu anak ranting dulu," jelas Hasto.
Pernyataan Hasto itu kemudian memicu komentar pedas dari pendukung Jokowi. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia salah satunya. Bahlil bahkan mengungkapkan bahwa Pemikiran ibu Megawati dan pikiran bapak presiden tidak bisa disamakan dengan pemikiran Pak Hasto.
"Ibu Mega itu presiden tokoh besar Pak Jokowi juga presiden masa mau disamain dengan orang yang enggak pernah jadi Presiden,” ucapnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan.
Pertemuan Jokowi-Megawati yang belum terealisasi hingga satu pekan pasca-Lebaran, kata Bahlil, tak dapat langsung diartikan sebagai indikasi adanya keretakan hubungan antara kedua tokoh tersebut.
Bahlil pun menekankan bahwa peluang pertemuan Jokowi dan Megawati masih ada. Dia menegaskan, pada prinsipnya Kepala Negara selalu terbuka dan tidak ada masalah dengan tokoh-tokoh besar.
"Saya belum tahu [kapan akan bertemu?]. Namun, Presiden Jokowi dan bu Mega ini kan tokoh bangsa, kita lihat aja pasti mereka punya hati yang baik untuk berbicara tidak perlu merasa grasa-grusu."
Sikap PDIP
Di tengah ketidakjelasan isu rekonsiliasi politik itu, PDI Perjuangan (PDIP) belum menentukan sikap dan posisinya usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua dalil sengketa hasil Pilpres 2024.
Ada desakan supaya PDIP menjadi oposisi, namun demikian arah politik partai berlambang banteng itu akan ditentukan dalam rapat kerja nasional alias Rakernas ke IV Mei mendatang.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto telah mengumpulkan pada pengurus partai daerah se-Indonesia di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat pada Senin (22/4/2024) malam. Selain itu, para pengurus pusat partai juga hadir.
"Kami melakukan pemetaan titik awal di dalam menyongsong agenda-agenda kepartaian ke depan termasuk mempersiapkan Rapat Kerja Nasional Ke-IV Partai pada 24, 25, 26 Mei 2024 ini," kata Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).
Rakernas ini, lanjutnya, merupakan momentum yang sangat penting untuk melakukan evaluasi kepartaian belakangan ini. Dengan demikian , dapat dirumuskan sikap politik sesuai dengan dinamika politik nasional dewasa ini.
Tak hanya itu, dalam Rakernas IV PDIP juga akan membahas berbagai isu penting rakyat, bangsa, dan negara. "Bagaimana melakukan mitigasi terkait dengan berbagai persoalan ekonomi, pangan, energi, politik luar negeri akibat pertarungan geopolitik," lanjut Hasto.
Lebih lanjut, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menyatakan dalam rakernas nanti para pengurus partai dari daerah hingga pusat akan bermusyawarah untuk memberikan usulan kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ihwal arah partai ke depan.
Salah satu usulan tersebut, terkait apakah PDIP akan bergabung atau oposisi pemerintahan Prabowo. Meski demikian, dia ingatkan bahwa PDIP sudah berpengalaman lama baik jadi oposisi ataupun pendukung pemerintahan.
"Ibu Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum PDI Perjuangan, pemegang hak prerogatif kongres, untuk kemudian di sanalah [Rakernas IV PDIP] akan menentukan sikap politiknya, akan berada atau di luar pemerintah," kata Basarah pada kesempatan yang sama.