Bisnis.com, WASHINGTON–Donald Trump, saat menjabat Presiden Amerika Serikat, diketahui memerintahkan Badan Intelejen Pusat (Central Intelligence Agency/CIA) untuk menyerang pemerintahan Xi Jinping, China. Caranya dengan memberikan kampanye negatif kepada orang nomor satu di Negeri Tirai Bambu itu.
Berdasarkan laporan Reuters, dua tahun setelah menjabat (2017-2021), Donald Trump memberi wewenang kepada CIA untuk meluncurkan kampanye rahasia di media sosial China yang bertujuan mengubah opini publik China terhadap pemerintah Xi Jinping, seperti diungkap mantan pejabat AS yang mengetahui langsung operasi sangat rahasia tersebut.
Menurut tiga mantan pejabat yang mengetahui rencana itu, CIA membentuk tim kecil yang menggunakan identitas palsu alias 'buzzer' di internet untuk menyebarkan narasi negatif tentang pemerintahan Xi Jinping. Upaya yang dimulai pada 2019 ini belum pernah dilaporkan sebelumnya.
Selama beberapa dekade terakhir, China melakukan ekspansi besar-besaran dalam memperluas jejaring global, menjalin pakta militer, kesepakatan perdagangan, dan kemitraan bisnis dengan negara-negara berkembang.
Tim 'buzzer' CIA mengkampanyekan tuduhan bahwa anggota Partai Komunis yang berkuasa menyembunyikan uang haram di luar negeri. Buzzer juga mengecam program China’s Belt and Road Initiative yang dinilai sarat korupsi dan pemborosan dalam menyediakan pembiayaan untuk proyek infrastruktur di negara berkembang.
Meskipun para pejabat AS menolak memberikan rincian spesifik mengenai operasi ini, mereka mengatakan bahwa narasi yang meremehkan itu didasarkan pada fakta meskipun secara diam-diam dirilis oleh agen intelijen dengan kedok palsu.
Baca Juga
Upaya operasi CIA di China itu dimaksudkan agar menimbulkan ketakutan di antara para pemimpin tinggi di sana, sehingga memaksa pemerintah mengeluarkan sumber daya untuk mengejar intrusi di internet yang dikontrol ketat oleh Beijing. “Kami ingin mereka mengejar hantu,” kata salah satu mantan pejabat tersebut.
Chelsea Robinson, juru bicara CIA, menolak berkomentar mengenai keberadaan program tersebut. Adapun, juru bicara Kementerian Luar Negeri China menuding operasi buzzer CIA itu menunjukkan pemerintah AS menggunakan “ruang opini publik dan platform media sebagai senjata untuk menyebarkan informasi palsu dan memanipulasi opini publik internasional.”
Operasi CIA ini dilakukan sebagai respons terhadap upaya rahasia China yang agresif selama bertahun-tahun meningkatkan pengaruh di kancah global. Selama masa kepemimpinan Trump, AS memberikan sinyal politik yang lebih keras terhadap China dibandingkan dengan pendahulunya.
Kampanye CIA itu mengingatkan perjuangan Washington dalam melawan negara-negara bekas Uni Soviet. “Perang Dingin telah kembali,” kata Tim Weiner, penulis buku tentang sejarah perang politik.
Reuters tidak menyebutkan apakah program rahasia CIA itu dilanjutkan oleh Presiden Joe Biden. Kate Waters, juru bicara Dewan Keamanan Nasional pemerintahan Biden, menolak berkomentar mengenai keberadaan program tersebut.
Dua sejarawan intelijen mengatakan, ketika Gedung Putih memberikan otoritas operasi rahasia kepada CIA sering kali tetap berlaku di seluruh pemerintahan.
Trump akan Lebih Keras Kepada China
Trump, yang kini menjadi calon presiden terdepan dari Partai Republik, telah menyatakan bahwa dirinya akan mengambil pendekatan yang lebih keras terhadap China jika terpilih kembali sebagai presiden pada November 2024.
Juru bicara Trump dan mantan penasihat keamanan nasional pada saat itu, John Bolton dan Robert O’Brien, menolak berkomentar.
Paul Heer, mantan analis senior CIA di Asia Timur, mengatakan operasi melawan Beijing mempunyai risiko yang signifikan untuk meningkatkan ketegangan dengan Amerika Serikat, mengingat kekuatan ekonomi China dan memiliki kemampuan untuk membalas melalui perdagangan.
Dia mencontohkan, setelah Australia menyerukan penyelidikan di China untuk menelisik asal-usul pandemi Covid-19 pada 2020, Beijing memblokir perdagangan Australia senilai miliaran dolar melalui tarif pertanian.
Selain operasi buzzer, pemerintahan Trump pada 2019 merilis laporan intelijen bagaimana China menggunakan suap dan ancaman untuk mendapatkan dukungan dari negara berkembang saat ada perselisihan geopolitik dengan Amerika.
Adapun Kementerian Luar Negeri China mengatakan Beijing mengikuti prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain dan tidak mencampuri urusan dalam negeri Amerika Serikat.
Setahun sebelumnya, Trump memberikan CIA kekuatan yang lebih besar untuk melancarkan operasi siber ofensif terhadap musuh-musuh AS setelah sejumlah serangan siber Rusia dan China terhadap organisasi Amerika, menurut laporan Yahoo News.
Sumber Reuters menggambarkan bahwa pada 2019 ditemukan operasi CIA yang lebih ambisius. Hal ini memungkinkan CIA untuk mengambil tindakan tidak hanya di China, tetapi juga di negara di seluruh dunia, di mana Amerika Serikat dengan negeri Tirai Bambu itu saling bersekutu mencari pengaruh.
Empat mantan pejabat mengatakan operasi tersebut menargetkan opini publik di Asia Tenggara, Afrika, dan Pasifik Selatan.
“Perumpamaannya adalah China mendatangi kami dengan tongkat bisbol baja dan kami melawan dengan tongkat kayu,” kata seorang mantan pejabat keamanan nasional yang mengetahui langsung temuan tersebut.
Menurut sumber tersebut, Matt Pottinger, pejabat senior Dewan Keamanan Nasional pada saat itu, yang membuat izin operasi tersebut. Laporan itu mengutip dugaan penggunaan pengaruh jahat Beijing, tuduhan pencurian kekayaan intelektual, dan ekspansi militer sebagai ancaman terhadap keamanan nasional AS.
Pottinger mengatakan kepada Reuters bahwa dia tidak akan mengomentari soal akurasi atau ketidakakuratan tuduhan mengenai aktivitas intelijen AS.
Dia menambahkan bahwa “tidaklah tepat untuk berasumsi bahwa saya memiliki pengetahuan tentang operasi intelijen AS yang spesifik.”
Loch Johnson, ilmuwan politik dari Universitas Georgia, menyampaikan ‘pesan terselubung’ yang memungkinkan AS untuk menanamkan ide-ide di negara, di mana sensor mungkin menghalangi informasi tersebut terungkap.
“Kampanye propaganda terselubung adalah hal biasa selama Perang Dingin, ketika CIA memasang 80 hingga 90 artikel setiap hari dalam upaya melemahkan Uni Soviet,” kata Johnson.
Pada 1950-an, misalnya, CIA mendirikan majalah astrologi di Jerman Timur untuk menerbitkan ramalan buruk tentang para pemimpin komunis.
Kampanye propaganda terselubung melawan Beijing bisa menjadi bumerang, kata Heer, mantan analis CIA. China dapat menggunakan bukti program pengaruh CIA untuk memperkuat tuduhannya yang sudah berlangsung puluhan tahun mengenai subversi terhadap Barat, membantu Beijing menyebarkan propaganda di negara berkembang yang sudah sangat curiga terhadap Washington.
Pesannya adalah: “Lihatlah Amerika Serikat yang melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain dan menolak prinsip-prinsip hidup berdampingan secara damai,” kata Heer. “Dan ada tempat-tempat di dunia di mana hal ini akan menjadi pesan yang bergema.”
Operasi pengaruh AS juga berisiko membahayakan para pengkritik, kelompok oposisi yang kritis terhadap China, dan jurnalis independen, yang dapat disalahartikan sebagai aset CIA, kata Thomas Rid, seorang profesor di Universitas Johns Hopkins yang menulis buku tentang sejarah perang politik.