Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cerita Ramadan Pengungsi Gaza: Dihantui Kelaparan dan Bom Israel

Warga Palestina di Jalur Gaza menyambut bulan suci Ramadan di tengah kelaparan dan ancaman serangan Israel.
Warga Palestina berbuka puasa dalam kondisi yang sulit di kamp pengungsi Jabalia pada hari pertama bulan suci Ramadan di Gaza pada 11 Maret 2024./Reuters
Warga Palestina berbuka puasa dalam kondisi yang sulit di kamp pengungsi Jabalia pada hari pertama bulan suci Ramadan di Gaza pada 11 Maret 2024./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Seluruh umat Muslim di dunia menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Sebagian besar menyambutnya dengan mendekorasi rumah, membeli hidangan khas Ramadan, dan merencanakan pertemuan dengan keluarga dan teman untuk berbuka puasa bersama.

Namun hal tersebut tidak terjadi di Jalur Gaza, Palestina. Penduduk di Gaza harus menyambut Ramadan di bawah ancaman kelaparan dan serangan lanjutan Israel karena perundingan gencatan senjata menemui jalan buntu.

Melansir The Guardian, Selasa (12/3/2024), Hanaa al-Masry, suami dan enam anak mereka menyambut Ramadan di tenda pengungsian yang tidak layak di Rafah. Tidak ada dekorasi, tidak ada makanan keluarga yang meriah, dan tidak ada pembacaan Al-Qur'an di bawah pohon lemon dan jeruk di kebun.

Keluarga Masry meninggalkan rumahnya di Khan Younis setelah menerima selebaran dari militer Israel yang menyuruh mereka pindah demi keselamatan mereka. Mereka berjalan menuju kota Rafah di perbatasan dengan Mesir dan sekarang tinggal di sebuah kamp pengungsian yang penuh sesak, tidur dan makan di tengah-tengah barang-barang yang masih bisa diselamatkan.

"Anak-anak perempuan saya biasanya menabung dengan hati-hati untuk membeli dekorasi dan setiap tahun saya akan memilih lentera Ramadan yang baru. Ini sangat menyedihkan, sangat sulit," ujar Hanaa al-Masry kepada The Guardian.

Kondisi di Rafah lebih baik daripada di bagian utara wilayah tersebut yang mengalami krisis bahan makanan. Pejabat kesehatan setempat mengatakan 20 kematian akibat kelaparan telah tercatat.

Banyak yang bertahan hidup dengan roti pipih yang dimasak di atas tungku kayu atau kompor gas, dan barang-barang kaleng yang diangkut dengan truk oleh lembaga-lembaga kemanusiaan dari Mesir. Setengah kilo gula sekarang berharga sekitar US$10 dan garam hampir tidak dapat diperoleh. Buah atau sayuran segar sangat langka dan sangat mahal.

"Saya bukan satu-satunya orang yang ingin mempertahankan adat istiadat kami. Tetangga saya dan saya biasanya menghiasi jalan kami dengan lampu dan lentera, tetapi sekarang semua yang ada di sekitar kami suram. Jalanan penuh dengan bekas-bekas pemboman Israel, dan masyarakat sedang berkabung," kata al-Masry.

Deir el-Balah

Kondisi di Deir el-Balah sedikit lebih baik. Para pengungsi di wilayah ini masih berupaya menghidupkan semarak Ramadan dengan meramaikan pasar, meskipun dibayangi serangan Israel.

Seorang pedagang bernama Atia Harb memasang beberapa dekorasi Ramadan di kiosnya dan memutar lagu-lagu meriah, berusaha sebaik mungkin untuk menarik pelanggan meskipun kondisi sedang suram.

Harb mengungsi bersama keluarganya yang berjumlah 11 orang dari Syekh Redwan di utara Gaza.

"Ramadan tahun ini sangat berbeda. Ada suara bom tanpa henti dan ambulans yang berlomba-lomba,” katanya kepada Al Jazeera.

Dia tidak mungkin membangkitkan banyak minat terhadap dagangannya di daerah kantong yang terkepung, di mana kelangkaan yang parah dan melonjaknya harga barang-barang kebutuhan pokok hanya menyisakan sedikit energi atau dana untuk dekorasi.

"Saat ini, sebagian besar orang berada di tempat penampungan, tenda-tenda darurat, dan di jalanan. Mereka telah kehilangan rumah mereka, tempat perlindungan mereka," lanjutnya.

Jabr Mushtaha, 45 tahun, dulunya adalah seorang pembuat manisan terkenal di Kota Gaza. Kini ia menjajakan dagangannya di pasar.

"Sekarang, sangat berbeda. Toko dibom, rumah saya dibom, dan saya menjadi pengungsi."

Ia mengungsi ke Deir el-Balah lima bulan yang lalu, dan sejak saat itu ia harus berjuang keras untuk mendapatkan bahan baku yang ia perlukan untuk terus membuat kue-kue buatannya.

Gula, yang dulunya dihargai 95 shekel (US$26) per kantong, kini mencapai 3.000 shekel (US$831) - naik lebih dari 500%, jelas Mushtaha.

"Dengan harga yang begitu tinggi, orang hampir tidak mampu membeli barang-barang kebutuhan pokok, apalagi barang-barang mewah," tambahnya.

Tetapi Mushtaha harus bekerja, jadi dia dan anak-anaknya membuat manisan untuk dijual dan menghidupi 10 anggota keluarganya.

"Setelah saya berada di kantor dan toko saya yang indah, sekarang saya berdiri di jalan berjualan. Perbedaannya sangat besar."

Harapan Mushtaha di bulan Ramadan ini adalah agar perang berhenti sehingga mereka dapat kembali ke rumah mereka di utara.

"Kami berharap akan ada gencatan senjata selama Ramadan. Betapa mengerikannya bahwa perang tidak berhenti selama satu menit pun. Toko manisan saya di Gaza dulu selalu ramai dikunjungi pelanggan selama Ramadan," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper