Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam, Kementerian Agama (Kemenag) RI, Adib, menjelaskan sidang isbat penting dilakukan karena Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler.
Hal itu dia sampaikan sekaligus menjawab usulan dari Muhammadiyah agar Kemenag RI tidak perlu lagi menggelar sidang isbat penentuan awal Ramadan 1445 Hijriyah.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Muti menyarankan agar Kemenag tidak perlu menggelar sidang isbat lantaran pemerintah sudah menyepakati kriteria bulan baru Hijriyah bersama Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS).
Adapun berdasarkan perhitungan astronomi, sudah diprediksi bahwa saat sidang isbat 10 Maret posisi bulan berada di bawah kriteria MABIMS.
Meski begitu, Adib menjelaskan bahwa sidang isbat penting dilakukan karena ada banyak organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia yang juga memiliki metode dan standar masing-masing dalam penetapan awal bulan Hijriyah.
"Tidak jarang pandangan satu dengan lainnya berbeda, seiring dengan adanya perbedaan mazhab serta metode yang digunakan. Sidang isbat menjadi forum, wadah, sekaligus mekanisme pengambilan keputusan," ujarnya, dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (9/3/2024).
Menurutnya, sidang isbat dibutuhkan sebagai forum untuk mengambil keputusan bersama dan diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan.
Dia menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada orang per orang atau golongan.
Kemudian, dia mengatakan bahwa hasil musyawarah dalam sidang isbat ditetapkan oleh Menteri Agama agar mendapatkan kekuatan hukum.
"Jadi bukan pemerintah yang menentukan jatuhnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Pemerintah hanya menetapkan hasil musyawarah para pihak yang terlibat dalam sidang isbat,” tambahnya.