Bisnis.com, JAKARTA—14 Februari 2024, berdasarkan kalender Jawa jatuh pada Rabu Legi. Masa depan demokrasi Republik Indonesia (RI) ditentukan pada hari ini, melalui pemilihan umum secara serentak yang penuh dengan kontroversi.
Tensi pesta demokrasi pada 2024 ini berlangsung panas. Sebenarnya tensi tinggi ini dimulai tahun lalu. Saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan pemimpin media massa menyatakan akan ‘cawe-cawe’ dalam hal urusan pemilihan presiden.
Pernyataanya tegas dan jelas. “Saya enggak akan netral. Untuk negara ini, saya perlu cawe-cawe,” ujarnya kepada pemimpin redaksi sejumlah media massa dan content creator di Istana Negara, Senin (29/5/2023).
Riuh rendah publik merespons pernyataan Jokowi, kendati jarak pilpres masih 9 bulan lagi. Ada yang menilai bahwa pernyataan cawe-cawe tersebut untuk menjegal pencalonan Anies Baswedan.
Nama Anies mencuat menjadi kandidat bacapres. Dia dinilai sebagai rival abadi Jokowi sejak didepak dari kursi Menteri Pendidikan pada 26 Juli 2016. Padahal, usia jabatannya baru seumur jagung, dari 20 Oktober 2014. Berbagai spekulasi muncul soal pencopotan itu. Namun, tidak pernah ada kata terucap dari mulut Jokowi.
Rocky Gerung menuding bahwa cawe-cawe Jokowi adalah upaya melanggengkan kekuasaan. Dia secara tegas menyebut sebagai upaya membangun dinasti politik.
Baca Juga
Pernyataan filsuf ini, begitu penggemarnya menyebut, terkonfirmasi 5 bulan kemudian. Mahkamah Konstitusi pada 16 Oktober 2023 memutuskan membolehkan calon capres dan cawapres boleh berusia di bawah 40 tahun asal memiliki pengalaman menjadi kepala daerah.
Keputusan yang dibuat oleh Ketua MK Anwar Usman, ipar Jokowi, itu membuat geger. Apalagi sepekan kemudian, 15 Oktober 2023, Gibran Rakabuming Raka melenggang mendampingi Prabowo Subianto mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kontestan Pilpres 2024.
Beberapa hari kemudian, Majelis Kehormatan MK memvonis bersalah Anwar Usman. Pamannya Gibran ini dinyatakan melanggar etik atas sejumlah unsur terhadap putusan No. 90/PUU-XXI/2023 itu. Anwar Usman pun dicopot dari kursi hakim MK, meski tetap menjadi anggota.
Tidak hanya itu saja. Pimpinan KPU pun divonis melanggar etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Mereka dinyatakan melanggar etik karena menerima pendaftaran Gibran. Padahal, KPU belum membuat aturan turunan atas keputusan MK.
Gelombang Aksi dari Akademisi
Dua putusan etik itu menyulut emosi para akademisi. Dunia kampus meradang. Guru besar dan civitas akademika mengeluarkan seruan moral. Berawal dari kampus Universitas Gajah Mada (UGM), almamater Presiden Jokowi.
Gelombang aksi pun merembet ke kampus-kampus lainnya. Tercatat lebih dari 60 kampus negeri dan swasta memprotes keras praktik menghalalkan segara cara untuk melanggengkan kekuasaan tersebut.
Tidak hanya dunia kampus. Para pemuka agama pun melakukan aksi protes. Dari ormas Islam hingga Kristen. Bahkan, Uskup Agung Jakarta Romo Kardinal Ignatius Suharyo muncul dan bersuara melihat keadaan demokrasi di RI saat ini.
Padahal, pemuka agama Katolik ini, sejak krisis 1997-1998, nyaris tidak pernah menyuarakan seruan politik. Romo Suharyo secara tegas menyampaikan bahwa kekuasaan akan tumbang bila tidak mendengarkan kritik.
"Semoga seruan seperti itu didengarkan, harapannya itu. Nanti kalau tidak di dengarkan, ya dalam sejarah juga jelas, ketika kekuasan tidak mendengarkan kritik-kritik bahayanya adalah tumbang," katanya.
Seruan moral dari civitas akademika dan pemuka agama itu mendorong gelombang aksi turun ke jalan. Tuntutannya mulai pemilu jurdil hingga meminta Jokowi mundur atau dimakzulkan.
Perang urat saraf kian memanas merespons sejumlah aksi tersebut. Bahkan, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bersuara keras atas seruan moral yang disampaikan oleh guru besar tersebut.
“Apa yang salah? Di mana etika moral. Kita jangan bicara moral lah, apa iya kita sudah moralis. Hati-hati loh! Jangan sok-sok moralis, padahal dia enggak punya moral juga. Emang kita tidak bisa dengar enggak bisa tau, ya tau lah. Jadi jangan sok moralis. Udah kita kerja saja bantu pada republik, kita ingatkan sudah bagus, tapi jangan nanti ada revolusi,” ujarnya dalam acara Rosi, Kompas TV.
Tensi tinggi tidak berhenti. Memasuki masa tenang jelang pencoblosan situasi justru lebih panas. Adalah Dirty Vote sebagai pemicunya. Film dokumenter besutan Dandhy Dwi Laksono dengan dibintangi tiga pakar guru besar membuat kubu Prabowo meradang.
Bahkan, selang beberapa jam film dirilis, mereka menggelar jumpa pers untuk memprotes film tersebut. Namun, aksi protes itu justru membuat blunder. Publik justru penasaran menonton film tersebut.
Film yang menceritakan skenario kecurangan pemilu itu telah ditonton 8 juta orang di kanal Youtube Dirty Vote. Belum lagi akun-akun lain yang menayangkan film serupa. Lihat sinopsinya di sini
Skenario Pilpres Satu Putaran
Kubu paslon 02, Prabowo-Gibran, mendengung-dengungkan bahwa akan menang satu putaran. Mereka optimistis bakal menumbangkan paslon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Skenario satu putaran ini dinilai sarat dengan kecurangan. Mulai dari pelanggaran etik, penyaluran bansos, hingga permasalahan di tempat pemungutan suara (TPS) mewarnai tudingan kecurangan dan mengancam gelombang aksi mosi tidak percaya pada pemilu.
Pemilihan di TPS luar negeri hingga tadi malam diwarnai kericuhan. Aksi protes karena tidak bisa mencoblos mewarnai sejumlah negara, seperti London, Inggris, hingga Jepang.
Di Papua, warga membakar surat suara karena mereka merasa tidak mendapatkan surat C1. Aksi warga Papua ini mencuat setelah perilisan film Dirty Vote. Asumsi itu muncul karena dalam film itu menyebutkan bahwa pemekaran wilayah hanya untuk mensiasati pilpres satu putaran.
Seperti diketahui, syarat lolos satu putaran mendapatkan suara 50% plus 1% dan menang di 20 provinsi dengan syarat minimal 20% suara. Penambahan Papua menjadi 6 provinsi dari semula 2 provinsi dituding sebagai syarat mereput suara 20 provinsi.
Padahal pemekaran Papua baru dilakukan tahun lalu. Berkaca pada Kaltara yang dimekarkan pada 2013, tetapi baru dihitung dalam kontestasi pemilu 2019.
Dengan melihat skenario pilpres satu putaran itu, gelombang aksi untuk tidak memilih 02 pun meluas. Bahkan, ancaman untuk menolak hasil pemilu dan aksi turun ke jalan pun meluas.
Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi masa depan demokrasi Indonesia. Belum lagi fondasi ekonomi yang telah terbangun sejak badai krisis 1998 terancam rubuh bila terjadi kerusuhan.
Berkaca dari krisis 26 tahun lalu, sumbernya adalah hasil pemilu. Orde Baru Soeharto mencoba mempertahankan kekuasaan pada pemilu keenam 29 Mei 1997. Namun, kue kemenangan itu hanya dirasakan 7 bulan sejak Soeharto dilantik.
Aksi demonstrasi meluas memprotes hasil pemilu yang dinilai penuh dengan skenario kecurangan. Tentu republik ini tidak berharap peristiwa itu terulang. Salah satu jalannya adalah membiarkan pemilu jurdil. Tidak ada kecurangan. Meskipun ini terkesan sangat utopis.