Bisnis.com, JAKARTA — Pers atau media massa menghadapi berbagai persoalan yang perlu diselesaikan secara sistemik, sehingga memerlukan komitmen dukungan dari para calon presiden dan wakil presiden atau capres-cawapres dalam Pilpres 2024.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam acara Deklarasi & Penandatanganan Komitmen Capres-Cawapres tentang Kemerdekaan Pers, Sabtu (10/2/2024) malam di Jakarta.
Dewan Pers mengundang para capres-cawapres untuk hadir menandatangani deklarasi itu. Capres nomor urut 01 Anies Baswedan hadir secara langsung di lokasi, lalu capres nomor urut 03 Ganjar Pranowo bergabung secara daring (online), sedangkan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto diwakili oleh timsesnya.
Ninik menjelaskan bahwa kemerdekaan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) merupakan penanda tegaknya demokrasi. Oleh karena itu, setiap capres-cawapres harus menunjukkan dukungannya terhadap kemerdekaan pers, agar demokrasi terus terjaga.
"Dukungan setiap paslon untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi kemerdekaan pers menjadi sangat krusial agar pers tetap mampu menjankan perannya menjadi pencerah dan penggugah kesadaran publik untuk menjadi bangsa yang dewasa dalam berdemokrasi," ujar Ninik pada Sabtu (10/2/2024).
Di hadapan para capres dan perwakilannya, Dewan Pers membeberkan sejumlah isu yang menjadi perhatian industri media. Misalnya, perkembangan teknologi digital dan media sosial yang menjadi lahan menjamurnya berita palsu atau hoax, disinformasi, maupun malinformasi—yang menantang pers untuk bisa menjadi rujukan utama informasi.
Baca Juga
Perkembangan teknologi digital juga menimbulkan polemik distribusi iklan antara media dengan platform digital. Dewan pers menilai bahwa para capres-cawapres perlu menaruh perhatian terhadap isu tersebut, karena berkaitan dengan keberlangsungan bisnis media.
"Perkembangan platform digital menjadi medium raksasa, yang mengambil alih distribusi informasi, di mana porsi periklanan diserap oleh platform tanpa disertai sharing revenue yang memadai dan adil bagi pers," ujar Ninik.
Dewan itu juga menyinggung soal penegakan Undang-Undang (UU) Nomor 40/1999 tentang Pers. Jurnalis masih kerap mengalami kekerasan, termasuk kekerasan berbasis digital—juga kekerasan terhadap jurnalis perempuan.
"Kekerasan pada pers juga dapat berupa perusakan alat kerja atau serangan siber terhadap pers berbasis digital, yang dalam kenyataannya membuat pers harus menyediakan pelindung sistem digital yang nominalnya sungguh menguras air mata," ujar Ninik.
Ninik juga menyoroti temuan hubungan kerja di lingkungan pers yang masih diskriminatif, sehingga jurnalis rentan kehilangan idealisme dan independensinya.
Lalu, iklan terkadang turut memengaruhi independensi media, meskipun secara tidak langsung.
Menurut Ninik, berbagai situasi itu menunjukkan bahwa belum tersedia dukungan yang memadai bagi pers atau media secara sistemik, untuk bisa terus menjalankan perannya sebagai media informasi, hiburan, edukasi, dan kontrol sosial.
"Pers seakan-akan bekerja sendirian tanpa dukungan. Meskipun, bukan berarti bahwa tidak ada dukungan sama sekali dari institusi negara, media, maupun swasta. Dukungan itu masih ada, meskipun belum sistematis, sporadis, dan di antaranya terkait dengan kepentingan institusi," ujar Ninik.