Presiden Jokowi Soal Kampanye: Apakah Garis Netralitas Terlampaui?

Direktur Eksekutif Indonesian Political Opinion (IPO) menyatakan bahwa presiden boleh memihak dan boleh berkampanye merupakan pernyataan yang menyesatkan.
Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah Putra (kanan) dan Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono (kiri) di Jakarta, Jumat (13/3/2020). JIBI/Bisnis- Samdysara Saragih
Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah Putra (kanan) dan Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono (kiri) di Jakarta, Jumat (13/3/2020). JIBI/Bisnis- Samdysara Saragih

Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menegaskan, pernyataan bahwa presiden boleh memihak dan boleh berkampanye merupakan pernyataan yang menyesatkan. Ini menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa presiden boleh memihak dan melakukan kampanye. 

"Statemen presiden boleh memihak dan boleh melakukan kampanye adalah statemen yang menyesatkan," ujar dia, saat dihubungi. 

Dedi menjelaskan, sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara, presiden merupakan penyelenggara pemilihan. Jika presiden ikut memihak dan berkampanye, maka langkah tersebut akan merusak proses pemilu. 

"Kalau presiden sebagai penyelenggara pemilihan lalu memihak maka ini bisa saja merusak kualitas dari proses elektoral itu," tegas dia. 

Pernyataan Jokowi dapat mempengaruhi institusi yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan Pemilu. Pernyataan tersebut bahkan bisa mempengaruhi KPU dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. 

"KPU kemudian kementerian dalam negeri termasuk juga Mitra di parlemen yang memiliki korelasi dengan pemilihan umum mereka besar kemungkinan akan terpengaruh ketika mereka tahu presiden akan memihak kemana," jelas Dedi. 

"Karena secara psikologis meskipun KPU tidak secara langsung tunduk pada presiden dalam penyelenggaraan pemilu tapi karena presiden punya andil dalam menentukan komisionernya termasuk juga dengan Parlemen maka ini akan bisa mempengaruhi kewenangan dan keberanian dari penyelenggara itu," imbuh dia. 

Menurut Dedi, presiden seharusnya bertindak sebagai seorang negarawan di tengah proses Pemilu. Dedi menegaskan, mengambil posisi netral saja belum cukup untuk membuat presiden dianggap negarawan. 

"Beliau (presiden) netral saja tidak cukup. Beliau harus berpihak pada negara dalam arti misalnya sekarang banyak anggota kabinet, para Menteri, para wakil menteri yang justru secara terang-terangan membela salah satu kandidat. presiden tidak bisa diam," terang dia. 

Presiden seharusnya menegur para anak buahnya dengan cara melakukan reshuffle. Presiden juga harus melarang semua aktivitas yang berkaitan dengan jabatan publik, terutama jabatan elit, ikut campur dalam urusan politik praktis. 

Soal netralitas pejabat dan presiden, hal senada disampaikan pakar politik, Ikrar Nusa Bhakti. Dia mengatakan, pernyataan Jokowi bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang selalu menyatakan bahwa presiden akan netral,  akan mendukung ketiga paslon. 

“Namun belakangan ini justru atau kemarin menyatakan boleh memihak. Kalau kita lihat sebetulnya ini bertentangan dengan sumpah jabatan untuk Presiden dan juga Menteri. Tetapi kita mungkin tidak tahu bahwa aturan ini juga sudah masuk dalam UU Pemilu tahun 2017 yang lalu,”terang Ikrar. 

Terkait ini, menurut Ikrar, poin ini bisa saja luput dari perhatian banyak kalangan. “Sayangnya memang hal ini diletakan pada pasal-pasal yang angkanya banyak banget, maksud saya dipasal di atas 2000an. Di mana di sana ada pasal bahwa Presiden, Menteri bahkan sampai Wakil Bupati boleh melakukan kampanye,” ungkap Ikrar. 

Sementara menurut dia, semua juga mengetahui bahwa hal itu bertentangan dengan asas umum bahwa ASN, TNI/Polri, kepala Desa, satpol PP tidak boleh berkampanye. “Mengapa ada dualisme kebijakan, pada tingkatan presiden, wapres, Menteri sampai wakil bupati boleh berkampanye sementara ASN tidak boleh,” tegasnya. 

Ia juga menyebutkan, mana bisa membedakan Presiden sedang melakukan kunjungan kerja dengan waktu Presiden atau Menteri sedang berkampanye. “Karena kita tahu bahwa kunjungan presiden dan para Menteri ke beberapa daerah itu tidak sedikit yang melakukan kampanye politik,”tutup Ikrar. 

Sebelumnya, calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD menyatakan akan mundur dari jabatannya sebagai Menko Polhukam. Hal ini dilakukan demi menjaga netralitas dan memberikan contoh agar pejabat negara tidak menyalahgunakan jabatan dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. 

"Malah sekarang menteri-menteri yang tidak ada kaitannya dengan politik ikut-ikutan jadi tim sukses," kata Mahfud saat berbicara dalam kegiatan 'Tabrak Prof' yang digelar di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (23/1) malam.

Karena itu, Mahfud berjanji akan mengajukan surat pengunduran diri sebagai Menko Polhukam. "Situasi tidak berimbang, pihak lain pakai jabatan, diantar. Saya kira percontohan saya sudah cukup. Tinggal tunggu momentum," ucap Mahfud.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper