Bisnis.com, JAKARTA -- Tingkat kepuasan publik alias approval rating terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih tinggi meski masa jabatannya kurang dari setahun lagi.
Tiga lembaga survei yakni Indikator Politik, Lembaga Survei Indonesia (LSI), dan Litbang Kompas menempatkan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi lebih dari 70 persen.
Versi Indikator Politik Indonesia, misalnya, menunjukkan bahwa kepuasan publik Jokowi dalam periode 20 November-1 Desember 2023 mencapai 76 persen. Angka ini stabil selama tiga periode survei. Tingkat kepuasan publik itu juga lebih tinggi dibandingkan saat Jokowi untuk kedua kalinya maju sebagai capres pada Pilpres 2019 yang hanya 72 persen.
Catatan Indikator Politik juga mengungkap bahwa titik terendah approval rating Jokowi terjadi pada periode survei Juni 2015. Saat itu approval rating Jokowi hanya 41 persen. Kepuasan publik terhadap Jokowi juga jeblok pada saat penanganan pandemi Covid-19. Pada periode survei Juli 2021, tingkat kepuasan publik hanya di angka 60 persen.
(Paparan LSI)
Sementara itu, fenomena serupa juga terungkap dalam survei dari Lembaga Survei Indonesia alias LSI. Versi LSI bahkan menunjukkan bahwa approval rating Jokowi pada Desember 2023 mencapai 76 persen. Angka ini naik dibandingkan dengan periode survei September dan Oktober. Padahal pada kurun September sampai dengan November 2023, Jokowi sedang mendapat banyak sorotan lantara isu dinasti politik dan konfliknya dengan partai pengusungnya, PDI Perjuangan (PDIP).
Baca Juga
Sementara itu, versi Litbang Kompas, approval rating tehadap pemerintahan Jokowi pada Desember 2023 juga masih cukup tinggi. Angkanya sebanyak 73,5 persen pada periode Desember 2023. Angka ini agak sedikit turun dibandingkan tahun Agustus 2023. Saat itu kepuasan publik terhadap Jokowi mencapai 74,3 persen.
Temuan Litbang Kompas juga menarik karena approval rating Jokowi pada Desember 2023 jauh lebih tinggi dibandingkan saat Jokowi akan maju lagi sebagai presiden pada 2019 lalu. Pada periode survei Oktober 2019, approval rating terhadap pemerintah hanya 58,8 persen.
Stimulus Bansos
Pemberian bantuan atau bansos kepada masyarakat menjadi salah satu alasan tingginya kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal ini terkonfirmasi dari hasil sigi ketiga lembaga survei di atas. Versi Indikator Politik, mayoritas responden yang puas dengan kinerja Jokowi karena memberikan bantuan kepada rakyat kecil mencapai 33,6 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kepuasan publik terhadap pembangunan infrastruktur yang hanya 25,1 persen.
Sedangkan responden yang merasa puas terhadap kinerja Jokowi karena orangnya merakyat atau kinerjanya sudah bagus masing-masing sebesar 8,9 persen dan 8,8 persen.
Sementara itu versi LSI juga mengindikasikan tren yang sama, responden puas dengan kinerja Jokowi karena sering bagi-bagi bantuan sebanyak 33,4 persen, pembangunan infrastruktur 24,9 persen, kinerjanya bagus 18,3 persen, dan orangnya merakyat hanya 7 persen.
Adapun responden yang tidak puas dengan kinerja Jokowi juga masih terkait permasalahan bantuan dan harga-harga kebutuhan pokok. Baik Indikator Politik maupun LSI mengungkapkan bahwa pemerataan bantuan pemerintah masih menjadi catatan khusus.
Versi Indikator Politik, responden yang tidak puas kepada Jokowi karena bantuan tidak merata mencapai 18,9 persen atau kedua teratas setelah harga kebutuhan pokok yang mencapai 23,8 persen.
Sedangkan versi LSI, responden yang tidak puas kepada Jokowi karena bantuan tidak merata mencapai 19,1 persen atau lebih tinggi dibanting semua indikator ketidakpuasan lainnya.
Di sisi lain, Litbang Kompas mencatat bahwa bantuan langsung kepada masyarakat memiliki andil penting dalam approval rating kepada pemerintahan Jokowi. Kepuasan publik terhadap pemberian bansos dan bantuan sejenisnya mencapai 72,6 persen atau naik 3,4 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepuasan publik terhadap pengentasan kemiskinan yang hanya 60 persen.
Anomali Subsidi
Selain bansos, pada periode kedua pemerintahannya, juga terhadi anomali dalam kebijakan subsidi energi. Pada awal pemerintahannya pada tahun 2015 lalu, Jokowi mulai melakukan konsolidasi fiskal.
Dia berani mengambil kebijakan tidak populis. Belanja subsidi energi dipangkas kemudian dialihkan ke sektor-sektor yang lebih produktif untuk pembangunan infrastruktur dan program lainnya.
Dalam catatan Bisnis, pada tahun 2015, sejak memegang tampuk kekuasaan, Jokowi awalnya tidak ingin mengulangi kebijakan subsidi pendahulunya. Subsidi diupayakan tepat sasaran. Jatah subsidi energi juga dipangkas. Tahun 2015 subsidi energi hanya dialokasikan sebesar Rp119,1 triliun.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan APBN terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 yang tercatat menggelontorkan Rp341,8 triliun untuk subsidi energi. Alokasi anggaran itu terdiri dari Rp240 triliun untuk subsidi BBM dan LPG serta subsidi listrik senilai Rp101,8 triliun.
Jika dikalkulasikan, anggaran subsidi energi tahun 2014 setara dengan 3,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang pada tahun itu mencapai Rp10.542,7 triliun. Angka ini berbanding terbalik dengan anggaran infrastuktur tahun 2014 yang hanya sebesar Rp178 triliun.
Pemangkasan anggaran subsidi pada awal pemerintahan Jokowi semula dilakukan untuk memberikan ruang fiskal yang lebih lebar untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Tujuannya, uang yang semula habis dibakar untuk subsidi BBM dan tetek bengeknya itu, dialirkan untuk kepentingan infrastruktur. Pada tahun 2015, anggaran infrastuktur bahkan berhasil tembus di angka Rp290 triliun.
Tren pemangkasan anggaran subsidi negeri terus berlanjut pada tahun 2016. Saat itu pemerintah hanya mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp106,8 triliun. Namun demikian, untuk anggaran infrastruktur angkanya naik menjadi Rp313,5 triliun. Kebijakan pemangkasan anggaran subsidi energi terus berlangsung pada tahun 2017.
Pada tahun 2017, pemerintah menggelontorkan anggaran subsidi energi sebesar Rp97,6 triliun. Rata-rata subsidi energi tahun 2015-2017 menunjukkan adanya penurunan rata-rata sebesar 9,5 persen. Sementara anggaran infrasturktur terus meroket, pada waktu itu pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp400,9 triliun.
Kebijakan pemangkasan subsidi energi berhenti pada tahun 2018. Pasalnya pada waktu itu, APBN mengalami turbulensi karena melonjaknya Indonesia crude price atau ICP yang diluar ekspektasi APBN. Akibatnya anggaran subsidi energi bengkak dari Rp97,6 triliun pada tahun 2017, menjadi Rp153,5 triliun pada tahun 2018.
Meski anggaran subsidi energi naik, hal itu tidak mempengaruhi alokasi belanja infrastruktur yang justru naik menjadi Rp410,4 triliun.
Anggaran subsidi berangsur turun pada tahun 2019 menjadi Rp136,9 triliun pada 2019 dan pada tahun 2020 menjadi Rp125,3 triliun. Pada dua tahun tersebut alokasi anggaran infrastruktur tercatat sebesar Rp415 triliun dan Rp423,3 triliun.
Pada tahun 2021 seiring dengan berlakunya APBN pandemi Covid-19, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp110,5 triliun. Namun angka subsidi energi kembali naik pada tahun 2022 dengan alokasi sebesar Rp134 triliun. Realisasi subsidi energi pada tahun 2022 bahkan membengkak di atas Rp200 triliun menyusul kenaikan tren harga minyak mentah global.
Setali tiga uang, untuk mengantisipasi fenomena tahun 2022 terulang, pemerintah mengalokasikan belanja subsidi energi pada tahun 2023 sebesar Rp211,9 triliun atau hampir mendekati jumlah subsidi energi yang digelontorkan oleh SBY pada akhir pemerintahannya sebesar Rp240 triliun.
Tahun 2024, di tengah ketidakpastian global dan harga minyak yang cenderung fluktuatif pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebanyak Rp189,8 triliun atau turun dibandingkan alokasi tahun 2023.