Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo secara buka-bukaan menceritakan pengalamannya dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Istana terkait dengan penyidikan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menyeret Setya Novanto (Setnov).
Cerita itu diungkap Agus saat diwawancarai pada program talkshow di salah satu stasiun televisi nasional semalam, Kamis (30/11/2023). Agus menceritakan bahwa pernah dipanggil sendiri ke Istana untuk menghadap Presiden Jokowi.
Dia mengaku heran karena biasanya Kepala Negara memanggil lima orang pimpinan apabila dibutuhkan untuk menghadap. Pada saat itu, cerita Agus, Jokowi ditemani oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.
"Di sana, begitu saya masuk, Presiden sudah marah. Beliau sudah berteriak, 'Hentikan!' Saya heran yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk, ternyata saya baru tahu kalau yang disuruh dihentikan itu kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu, kasus e-KTP. Supaya tidak diteruskan," tuturnya, dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat (1/12/2023).
Mantan pejabat LKPP itu lalu mengatakan bahwa sprindik kasus Setnov sudah dikeluarkan. Dia pun menyampaikan kepada Presiden bahwa tidak ada mekanisme penghentian penyidikan di lembaga antirasuah.
Untuk diketahuu, KPK saat itu belum memiliki mekanisme surat perintah penghentian penyidikan atau SP3, atau sebelum revisi UU KPK pada 2019. Oleh karena itu, Agus menyatakan tetap melanjutkan proses penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Setnov.
Baca Juga
"Tapi akhirnya dilakukan revisi undang-undang nanti kan intinya SP3 menjadi ada, kemudian [KPK] di bawah Presiden. Apa pada waktu itu mungkin Presiden merasa Ketua KPK diperintah Presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu," lanjutnya.
Saat ditanya kembali mengenai pengakuannya itu, Agus mengatakan bahwa itu merupakan kesaksiannya terhadap kejadian yang diklaim benar-benar terjadi. Dia mengaku saat itu tidak langsung menceritakan hal tersebut ke empat pimpinan KPK lainnya.
"Saya bicara apa adanya [kepada Presiden] bahwa sprindik sudah dikeluarkan tiga minggu lalu, di KPK itu tidak ada SP3. Tidak mungkin saya memberhentikan [penyidikan]," terangnya.
Usai pertemuan itu, Agus, mengaku hanya pulang saja setelah menolak permintaan Kepala Negara. Namun, dia menyebut sempat merenungkan apabila pertemuannya dengan Presiden saat itu mencerminkan kondisi KPK saat ini yang dinilai olehnya tidak lagi independen.
"Setelah revisi UU KPK itu menjadi perenungan saya oh ternyata pengennya KPK itu bisa diperintah-perintah," ujar Agus.
Kontroversi Firli
Adapun mantan Ketua KPK itu hadir dalam program Rosi di Kompas TV, Kamis (30/11/2023), terkait dengan kasus dugaan pemerasan yang menjerat Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri sebagai tersangka.
Agus menyampaikan bahwa Firli sudah lama dinilai bahkan diumumkan problematis saat masih menjadi Deputi Penindakan. Namun, faktanya Firli tetap berhasil melenggang ke kursi pimpinan KPK di 2019. Menurutnya, kontroversi KPK akibat Firli yang kini menjadi tersangka kasus korupsi tidak lepas dari tanggung jawab komisioner KPK pada zamannya, revisi UU KPK, hingga pemerintah.
Sekadar informasi, Firli Bahuri merupakan Ketua KPK yang dipilih berdasarkan mekanisme seleksi melalui panitia seleksi (pansel) calon pimpinan (capim) KPK di 2019. Saat itu, pemilihan Firli juga disetujui oleh Komisi III DPR.
Kini, Firli justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya atas kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Atas cerita Agus, pihak Istana langsung membantah. Presiden disebut tidak pernah bertemu dengan Agus untuk membicarakan soal penghentian penyidikan kasus yang menjerat Setya Novanto itu.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana membantah adanya pertemuan dimaksud melalui pernyataan resmi.
"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," katanya kepada Bisnis melalui pesan singkat, Jumat (1/12/2023).
Ari lalu mengatakan bahwa pada kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan hingga berkekuatan hukum tetap. Seperti diketahui, saat ini Setya atau Setnov sudah mendekam di balik jeruji besi sebagai terpidana kasus megakorupsi e-KTP.
Dia juga menyebut Presiden Jokowi tegas meminta agar Setnov mengikuti proses hukum di KPK, yang saat itu dipimpin oleh Agus Rahardo cs pada periode 2015-2019. Pernyataan itu diunggah di situs resmi Sekretariat Kabinet (Setkab) pada 17 November 2017.
"Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik," lanjutnya.
Di samping itu, Ari turut menyanggah pernyataan Agus dalam wawancara dimaksud mengenai pelemahan lembaga antirasuah melalui revisi Undang-undang (UU) KPK oleh pemerintah.
"Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," tuturnya.