Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mulai menerapkan teknologi nyamuk ber-Wolbachia dalam upaya menekan penyebaran demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia.
Berdasarkan keterangan Kemenkes, teknologi nyamuk ber-wolbachia pada prinsipnya memanfaatkan bakteri alami Wolbachia yang banyak ditemukan pada 60% serangga.
Bakteri itu selanjutnya dimasukkan dalam nyamuk Aedes aegypti, hingga menetas dan menghasilkan nyamuk aedes aegypti ber-Wolbachia yang tidak menularkan virus dengue.
Meskipun demikian, inovasi tersebut tak serta-merta diterima oleh masyarakat. Di Bali, misalnya, penyebaran nyamuk ber-Wolbachia yang mulanya dilakukan mulai November ini harus ditunda karena terdapat penolakan dari sebagian masyarakat.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali Dewa Made Indra angkat bicara mengenai penolakan tersebut. Selagi mengapresiasi daya kritis masyarakat Bali terhadap rencana penyebaran nyamuk Wolbachia, dia menuntut adanya sosialisasi aspek ilmiah mengenai permasalahan ini.
"Cuma masalahnya, penggunaan Wolbachia ini belum ada kajian yang komprehensif, terutama berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat apakah nanti DBD berkurang, tetapi tidak menimbulkan penyakit yang lain? Ini penting harus dijawab," ujarnya, dikutip Sabtu (25/11/2023).
Baca Juga
Di sisi lain, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu mengakui bahwa penolakan tersebut terjadi karena kurangnya proses sosialisasi yang dilakukan pihaknya dan dinas kesehatan setempat.
"Memang pelaksanaan di Bali penyebabnya saya lihat itu memang sosialisasi sampai ke akar rumput itu kurang," katanya dalam konferensi pers daring, Jumat (24/11/2023).
Akibatnya, Maxi menyebut sebagian masyarakat itu mungkin belum menerima informasi tentang manfaat penggunaan teknologi Wolbachia untuk menekan DBD. Selain itu, penerapan teknologi Wolbachia di Bali ini dibiayai oleh salah satu donatur, sehingga menjadi salah satu faktor kurangnya koordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat.
"Dan di Bali memang ditangani salah satu donatur yang membiayai, sehingga koordinasi dengan dinas kesehatan itu kurang," imbuhnya.
Dia menambahkan, penolakan ini perlu ditangani dengan melakukan sosialisasi secara terus-menerus ke masyarakat.
Salah satunya adalah penekanan poin bahwa penyebaran nyamuk ber-Wolbachia dipastikan aman karena telah melalui proses penelitian yang panjang dengan melibatkan berbilang ahli.
“Penerapan teknologi nyamuk ber-Wolbachia sudah melalui kajian dan analisis risiko dengan melibatkan 25 peneliti top Indonesia, dan hasilnya bagus, sudah diujicobakan di Yogyakarta sekitar 5-6 tahun lalu dan hasilnya sangat menggembirakan,” papar Maxi dalam kesempatan yang sama.
Pendekatan 12 Tahun
Sementara itu, peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Adi Utarini menjelaskan bahwa sebelum mulai diterapkan, pihaknya telah melakukan pendekatan jangka panjang terkait teknologi Wolbachia ini selama 12 tahun, tepatnya sejak 2011 hingga 2023.
Proses ini berawal dari Yogyakarta pada 2011 dan dibagi dalam berbagai fase. Fase pertama adalah tentang keamanan dan kelayakan yang menjadi batu pijakan penelitian ini ke depannya. Kemudian, fase kedua berlangsung pada 2013-2015.
“Baru kemudian pada fase kedua kita melakukan pelepasan di skala kecil. 4 dusun, jumlah penduduknya enggak sampai 10.000. Pada saat itu kami disyaratkan melakukan surveilans aktif dengue, dan itu kami lakukan selama fase dua ini,” katanya dalam webinar yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sabtu (25/11/2023).
Usai fase kedua yang menunjukkan hasil bagus, pihaknya melanjutkan ke fase ketiga yaitu pelepasan skala besar atau uji klinis.
Proses ini berlangsung sejak 2016 hingga 2020 di Yogyakarta, dengan melakukan analisis risiko independen oleh tim pakar di luar peneliti dan studi dampak teknologi.
Hasilnya, daerah yang disebar nyamuk ber-wolbachia terbukti mampu menurunkan angka kejadian demam berdarah hingga 77%. Hal serupa terjadi pada angka perawatan rumah sakit juga turun sebanyak 86%.
“Kami membandingkan kecenderungan dengue di Yogyakarta mundur 30 tahun, dari situ kami menyimpulkan memang angka kejadian dengue saat ini terendah sejak 30 tahun lalu. Hasil ini menjadi bukti penelitian di Yogyakarta sekaligus rekomendasi ke WHO untuk vector control advisory group,” lanjut Uut, sapaan akrabnya.
Dengan bukti-bukti tersebut, pihaknya lantas melanjutkan pada fase keempat, yakni model implementasi.
Menurut Uut, fase ini telah beranjak dari koridor riset menuju implementasi yang lebih luas agar manfaatnya dapat dirasakan masyarakat. Fase ini berlangsung mulai 2021 hingga terus berjalan pada tahun ini di Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, dan direncanakan pula di kota-kota lainnya.
Ketika ditanya perihal risiko penerapan teknologi nyamuk ber-wolbachia, Uut meyakinkan bahwa hal tersebut tentu telah menjadi bagian dari penelitian dan telah dibuktikan bahwa risiko yang ada dapat diabaikan.
“Risiko intervensi Wolbachia untuk pengendalian dengue dapat diabaikan. Sangat rendah risikonya,” tegas perempuan yang juga merupakan anggota Dewan Pengarah BRIN ini.