Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bijih Nikel Dilarang, Mengalir ke China Kemudian

China meneguk keuntungan dari celah regulasi yang terjadi di Indonesia. Perbedaan klasifikasi terhadap bijih nikel berpotensi membuat Indonesia rugi.
Ilustrasi tambang nikel/Bisnis-Paulus Tandi Bone
Ilustrasi tambang nikel/Bisnis-Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA – Kasus ‘penggelapan’ eksportasi 5 juta ton bijih nikel ke China memasuki babak baru. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menelusuri indikasi pidana dari praktik lancung tersebut. 

Informasi yang dihimpun dari lingkungan penegak hukum maupun pejabat pemerintahan mengungkap bahwa celah dalam sistem tata kelola niaga nikel dinilai sebagai biang kerok 'bocornya' ekspor nikel Indonesia ke China sejak 2020. Padahal, pemerintah telah mengharamkan ekspor bijih nikel sejak 2020 silam.

China adalah salah satu mitra utama investasi nikel di Indonesia. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal alias BKPM mengungkap bahwa nilai investasi China di sektor penambangan bijih logam naik cukup signifikan sejak 2017 silam. Pada 2017, misalnya, nilai investasi China di daerah yang menjadi lumbung-lumbung tambang nikel yakni di Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, sebanyak U$180.900 dan tahun 2018 hanya US$149.300.

Namun demikian, sejak tahun 2019,  jumlah inevstasi China ke tiga daerah itu naik cukup signifikan. Pada 2019, investasi China di sektor penambangan bijih logam mencapai US$552.100, tahun 2020 naik menjadi US$2,22 juta, sempat turun pada 2021 menjadi US$873.400. Investasi China di tiga daerah itu kembali rebound bahkan tembus hampir 5 kali lipat menjadi US$5,18 juta. Tahun 2023 meski masih menyisakan waktu kurang dari dua bulan lagi, realisasi invesatasi sektor penambangan bijih logam di tiga daerah itu mencapai US$6,8 juta.

Sayangnya, gerak impresfis investasi dari China terhempas isu dugaan main sulap ekspor bijih nikel. Informasi tentang kebocoran atau dalam bahasa sejumlah sumber disebut sebagai penggelapan itu, berawal dari dokumen analisis milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Semula, pihak KPK, Bea Cukai dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkeyakinan bahwa munculnya data impor bijih nikel di China dari Indonesia, terjadi karena perubahan klasifikasi barang.

Di Indonesia, barang yang diklasifikasikan sebagai bijih nikel di China teridentifikasi sebagai bijih besi. Namun di China hasilnya lain. Ada informasi bahwa, China menggunakan penghitungan dan klasifikasi berbeda untuk bijih besi yang mengandung 0,5 persen nikel, sebagai bijih nikel. Alhasil di laman kepabeanan China, impor bijih besi dimasukkan dalam kategorisasi bijih nikel.

“Kalau di Indonesia, misalnya perusahaan punya IUP pasir besi ya ekspornya hanya pasir besi," kata Deputi Pencegahan KPK Pahama Nainggolan kepada Bisnis pekan lalu. 

Menariknya, setelah mengendap sekian lama, penyelidik KPK mulai menelisik indikasi pidana dalam eksportasi bijih nikel tersebut. Bijih nikel adalah barang terlarang yang diperdagangkan ke luar negeri sejak 2020. Kebocoran nikel itu awalnya disebabkan oleh sistem pengenaan royalti ekspor mineral di Indonesia. 

Informasi yang dihimpun Bisnis menjelaskan bahwa bijih nikel Indonesia yang dikirim ke China itu 'menempel' pada pasir besi yang diekspor oleh sebuah perusahaan di Kalimantan Selatan. Perusahaan itu pernah disinggung Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, usai isu ekspor nikel ke China itu mencuat. 

Adalah bill of lading (BL), atau surat tanda terima barang yang telah muat dalam kapal angkut, dari Bea Cukai China yang menguatkan indikasi adanya kebocoran atau penggelapan dalam eksportasi bijih nikel Indonesia. Data Bea Cukai China mengungkap terdapat 83 kali pengiriman pasir besi ke China dari PT SILO di Indonesia.

Dari 83 BL, pihak Bea Cukai China hanya memberikan akses kepada Bea Cukai Indonesia untuk 72 BL. Setelah ditelisik lebih dalam, ada sebanyak 62 BL yang menunjukkan kandungan nikel pada pasir besi yang diekspor dari Indonesia. Rata-rata kadar mineral nikel yang ada di pasir besi itu mencapai sekitar 0,9 persen.  

Sayangnya ketika dikonfirmasi, Pahala enggan menjelaskan secara detail mengenai informasi tersebut. Dia hanya mengungkapkan bahwa Indonesia dan China tidak menerapkan sistem yang sama dalam pencatatan mineral berdasarkan kadarnya. Salah satu akibatnya, di Indonesia, mineral yang bisa dikenakan royalti hanya yang sesuai dengan izin usaha pertambangan (IUP) milik perusahaan eksportir. 

Dalam kasus ini, PT SILO hanya tercatat sebagai perusahaan dengan IUP pasir besi. Adapun mineral-mineral lain yang ikut terkirim ke luar negeri, terutama jika kadarnya rendah, tak bisa dikenakan royalti. 

Namun demikian, beberapa narasumber yang ditemui Bisnis sebelumnya berpendapat lain. Salah satu narasumber mengatakan bahwa China memiliki teknologi yang lebih maju untuk melakukan ekstraksi suatu kadar mineral. 

Tidak hanya itu, China juga disebut sangat membutuhkan nikel dari Indonesia. Sehingga, sekecil apapun kadarnya, otoritas di China disebut sangat berupaya untuk mengekstraksi mineral tersebut.

Apapun itu, fakta bahwa Bea Cukai China merekam adanya 5,31 juta ton bijih nikel yang diimpor dari Indonesia sejak 2020 sampai dengan Juni 2023 perlu tetap didalami. 

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Jasa Bea Cukai Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, mengungkapkan bahwa pihaknya telah meminta klarifikasi langsung kepada Bea Cukai China. "Jadi sejak tahun 2021, kami sudah melakukan konfirmasi ke GACC [Bea Cukai China]," ujar Nirwala.

Dalam catatan Bisnis, setiap negara memiliki kebijakan klasifikasi yang bebeda-beda. Dalam kasus Nikel, di Indonesia khusus untuk klasifikasi barang tambang, klasifikasinya biasanya akan mengacu kepada kandungan paling dominan dari barang tambang. Jika yang dominan adalah bijih besi,  hal itu akan diklasifikasikan ke dalam bijih besi, kendati di dalamnya terdapat unsur nikel.

Sebaliknya di China, kebijakannya akan mengikuti national interest mereka sendiri. Soal nikel, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, jika kandungan nikel mencapai 0,5 persen maka secara otomatis akan dikategorikan sebagai ijih nikel.

Nirwala sendiri menegaskan bahwa pihaknya telah memperketat pengawasan terhadap lalu lintas eksportasi bijih nikel. Dia memastikan bahwa bijih nikel masuk dalam larangan pembatasan (lartas). Namun dia mengingatkan bahwa proses pengawasan itu tidak bisa dilakukan oleh Bea Cukai saja. "Ini sudah dilarang, barang lartas. Jadi otomatis kami akan koordinasi dengan teman-teman di Kementerian Perdagangan."

Bisnis telah menghubungi pihak Sucofindo sebagai pihak surveyor. Namun demikian, hingga berita ini diunggah belum ada jawaban resmi dari mereka.

Potensi Utang Royalti

Adapun dalam hitung-hitungan KPK 5,31 juta ton bijih nikel yang terekam oleh Bea Cukai China bukan merupakan nikel, melainkan total tonase pasir besi dari PT SILO. Dia menyebut kandungan nikel yang dikirim dari PT SILO hanya rata-rata 0,9% saja. 

Namun demikian, lembaga antikorupsi itu tak menampik bahwa ada nikel yang bocor dari Indonesia kendati adanya larangan ekspor dari pemerintah sejak 2020. Mereka juga tak menyanggah adanya potensi kehilangan royalti terutang dari ekspor nikel tersebut. 

Berdasarkan perhitungan Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK, potensi terutang royalti ekspor nikel itu sekitar Rp41 miliar. Laporan Bisnis sebelumnya mengenai isu ini pernah memuat skenario penghitungan total nilai ekspor nikel dimaksud. 

Berdasarkan data laman resmi aman resmi General Administrations of Customs of the Republic of China (GACC), negara tersebut mengimpor bijih nikel dari Indonesia senilai 3,39 juta ton atau senilai US$193,3 juta pada 2020 atau tahun pertama pelarangan ekspor dari Indonesia. 

Angka importasi bijih nikel itu lalu turun menjadi 839.161,2 ton senilai US$48,14 juta pada 2021. Namun demikian, jumlah importasi mengalami kenaikan menjadi 1,08 juta atau senilai US$54,63 juta pada tahun 2022. Kemudian, impor nikel dari Indonesia berlanjut setidaknya hingga Juni 2023 sebanyak 245.823 ton atau senilai kurang lebih US$11,6 juta. 

Total eksportasi impor bijih nikel 2020 hingga pertengahan 2023 tercatat sebanyak 5,31 juta ton senilai US$307,8 juta atau kurang lebih Rp4,6 triliun (kurs 15.000 per dolar AS). Jika dikali dengan rata-rata 0,9% kadar nikel berdasarkan 62 BL Bea Cukai China, maka potensi royalti terutang benar mencapai Rp41,4 miliar. 

Pahala sendiri  mengatakan bahwa nilai itu berasal dari royalti yang seharusnya bisa dikenakan oleh pemerintah Indonesia. Namun, faktanya regulasi di Indonesia hanya memungkinkan pengenaan royalti pada mineral yang diekspor sesuai dengan IUP-nya saja. PT SILO tidak bisa dikenakan royalti ekspor nikel karena hanya memegang IUP pasir besi. 

"[Angka Rp41,4 miliar ini] hanya menunjukkan bagaimana sistem kita bisa diakalin orang, sehingga negara tidak maksimum [dalam hal pemasukan royalti]. Ini sistemnya yang kita mau usulkan dirubah, jadi kalau [perusahaan memegang IUP] pasir besi, kenakan [royalti] pasir besi. Tetapi kalau ada mineral ikutan, kenakan juga mineral-nya yang signifikan," jelasnya. 

Usulan atau rekomendasi perbaikan itu, terang Pahala, ingin disampaikan kepada Menteri ESDM. Harapannya, sekecil apapun kadar material yang ikut terekspor bisa dideklarasikan atau dikenakan royalti jika nilainya signifikan. 

"Supaya kalau ada logam ikut terekspor [pada materi lain] dan harganya signifikan atau dilarang ekspor di Indonesia, tetap bisa di-declare. Lalu, ada potensi pengenaan royalti tambahan untuk mineral ikutan," tuturnya.

Selain mengenai sistem pengenaan royalti, dia ingin memberikan sejumlah rekomendasi perbaikan kepada dua lembaga lain yakni kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai Kemenkeu). 

Rekomendasi yang ingin diberikan ke Kemendag terkait dengan pengaturan biaya serta kualifikasi SDM surveyor, sedangkan penguatan peran pengawasan untuk Ditjen Bea Cukai. Rencananya, pihak KPK juga ingin mengundang ketiga kementerian/lembaga itu untuk berkoordinasi. 

Namun demikian, Pahala menyebut tiga butir rekomendasi ke tiga kementerian itu belum disampaikan secara formal. Dia mengatakan bahwa undangan resmi baru akan disampaikan setelah tindak lanjut dari Kedeputian Penindakan dan Eksekusi.

"Ada proses lanjutan [di Kedeputian Penindakan] dan sedang ditindaklanjuti," pungkasnya. 

Sekadar informasi, Kedeputian Penindakan membawahi tiga direktorat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan hingga penuntutan kasus korupsi. 

Bisnis sudah mencoba mengonfirmasi apabila kasus ekspor nikel itu sudah masuk ke ranah penyelidikan. Pertanyaan disampaikan kepada Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang membawahi kegiatan penindakan KPK, serta Juru Bicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri. Namun, keduanya belum memberikan respons mengenai pertanyaan yang diberikan. 

Respons Berbeda

Berdasarkan catatan Bisnis, otoritas memiliki respons berbeda mengenai kabar bocornya nikel Indonesia ke China sejak 2020 itu. Sejak awal temuan KPK itu disampaikan ke publik pada Juni 2023, otoritas seperti Kementerian ESDM dan Kemenko Marves menyampaikan respons beragam.

Muhammad Wafid, yang saat itu menjabat sebagai Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, menilai adanya kekeliruan atau perbedaan persepsi oleh KPK dalam memahami kode harmonized system (HS).

"Kami yakin itu salah memahami kode HS, kita nggak akan main-main mengenai ekspor lah," kata Wafid saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (17/7/2023).  

Dia memastikan tidak ada bijih nikel yang diselundupkan ke China pada periode yang disebut komisi antirasuah itu. Dia menuturkan, kementeriannya sudah melakukan evaluasi internal ihwal dugaan yang sudah disampaikan KPK kepada publik bulan lalu.  

"Sebenarnya sudah confirm itu, nikel nggak ada celah itu, cuma ya itu kalau ada berarti ini beda persepsi lah, ini saya bilang," kata dia.

Sekitar dua bulan setelahnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyebut telah mengantongi identitas perusahaan yang diduga melakukan praktik ekspor bijih atau ore nikel ilegal ke China selama Januari 2020 hingga Juni 2022. Luhut mengatakan bahwa dirinya sudah melalukan investigasi dengan KPK terkait dugaan ekspor ilegal ini.  

"Karena semua digitalisasi kita sudah urut dari China mana asalnya itu, asalnya itu dari Kalimantan Selatan. Siapa anunya, kita udah tahu semua," kata Luhut saat ditemui usai acara Bloomberg CEO Forum at Asean di Jakarta, Rabu (6/9/2023).

Satu pekan setelahnya, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan pertama kali mengungkap ke media bahwa ekspor 5,3 juta ton nikel itu bukan merupakan penyelundupan. Temuan Pahala masih sama seperti yang disampaikan kepada Bisnis baru-baru ini. 

Meski demikian, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut pihaknya juga tengah menindaklanjuti hasil temuan KPK itu. Dia menilai ekspor nikel itu tetap merupakan penggelapan. “Tetapi memang kan tidak boleh ekspor besi isinya nikel. Itu penggelapan. Nilainya kan lain [antara besi dan nikel]," terang Arifin saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (15/9/2023).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper