Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI : Reposisi dan Rejuvenasi Siaran TVRI

Peran utama TV publik sejatinya adalah secara terus-menerus mengondisikan pola pikir masyarakat untuk semakin positif, aktif, dan kreatif.
Gedung Televisi Republik Indonesia (TVRI). Bisnis/Himawan L Nugraha
Gedung Televisi Republik Indonesia (TVRI). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Tanggal 2 November 2023 nanti, Analog Switch Off (ASO) akan ulang tahun pertama. Ini artinya hari jadi ke-61 TVRI pada 24 Agustus 2023 lalu merupakan ulang tahun perdana di era digital. Kini TVRI memiliki 3 saluran nasional dan 32 saluran daerah yang semuanya secara teknis dapat bersiaran 24 jam penuh. Siapkah TVRI memaksimalkan potensi ini?

Sampai hari ini, rating dan share TVRI nasional masih rendah. Program siarannya ditonton sedikit orang saja. Sebagai TV publik, program-programnya belum berhasil mendorong lahirnya gerakan masyarakat di berbagai bidang untuk membuat warga lebih proaktif dan punya inisiatif untuk terlibat dan peduli pada masalah-masalah sosial di sekitarnya.

Peran utama TV publik sejatinya adalah secara terus-menerus mengondisikan pola pikir masyarakat untuk semakin positif, aktif, dan kreatif. Kondisi ini akan menjadi dukungan kuat untuk makin terwujudnya masyarakat Indonesia yang guyub, tidak terkotak-kotak, dan tidak terprovokasi oleh hoaks.

Kita semua paham bahwa hoaks, apalagi dengan pesatnya perkembangan artificial intelligence (AI), akan menjadi ancaman utama dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran yang teramat berat ini jangan malah disederhanakan karena ketidakmampuan TVRI dalam merumuskan visi, misi dan positioning, serta menerjemahkannya dalam kebijakan program yang fokus dan tepat.

TVRI tidak boleh lari dari alasan keberadaannya (raison d’etre). Karenanya, reposisi untuk menguatkan dan rejuvenasi untuk meremajakan serta menyegarkan tampilan layar harus menjadi langkah pertama yang dilakukan TVRI di era ini.

Berikut adalah usulan langkah dan kebijakan strategis yang harus segera diterapkan TVRI agar keberadaannya tidak makin memudar dan terabaikan. Sebut saja namanya 4 Sehat 5 Sempurna untuk reposisi dan rejuvenasi TVRI.

Pertama, Shifting Paradigm. Saat ini TVRI berada di tengah belantara media penyiaran konvensional dan media baru. Pola pikir lama ketika TVRI masih menjadi pemain tunggal tanpa kompetitor harus ditinggalkan. Saatnya Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI memperkuat brand kelembagaannya sebagai institusi yang modern, sehat, bersih, terbuka, dan siap bersinergi.

Tiga saluran nasional dan 32 saluran daerah milik LPP TVRI harus diperlakukan dan dirawat sebagai entitas brand. Brand-brand di bawah LPP TVRI ini mesti menguatkan positioning mereka di khalayak sasarannya masing-masing yang berada dalam jangkauan siarannya.

Setiap brand perlu memiliki faktor pembeda, tidak hanya dari brand televisi swasta, tetapi juga untuk sesama 35 brand milik LPP TVRI. Jangan sekadar menjadi produk siaran paritas yang tidak punya jati diri.

Pemetaan dan penentuan khalayak sasaran bagi masing-masing 35 brand TVRI adalah landasan utama dalam melaksanakan strategi branding.

Kedua, No Business As Usual. Sikap dan prinsip kerja bahwa yang penting di layar ada siaran dan produksi program asal ‘ngeglinding’, harus segera ditinggalkan. Salah kaprah dalam memandang TVRI tidak butuh rating harus dibuang jauh-jauh. TVRI perlu punya target rating dan share yang harus dicapai. Yang tidak boleh adalah ‘demi rating’ yaitu sekadar latah dan ikut-ikutan membuat sembarang program yang sedang tinggi ratingnya.

Mengutamakan kualitas program, tanggap positioning, serta mencapai target rating dan share tertentu sudah waktunya jadi prioritas. Ini berlaku tidak saja bagi 3 saluran nasional tetapi juga bagi 32 saluran daerah TVRI. Menghimpun jutaan subscribers dan followers untuk media baru milik TVRI juga harus menjadi target untuk direalisasikan.

Dengan TVRI punya target rating dan share yang harus dicapai, akan tercipta suasana kondusif dan dampak positif pada kinerja layar TVRI.

Tidak ada lagi belanja dan penggunaan anggaran hanya agar target penyerapan APBN tercapai tanpa peduli apakah layar TVRI ada yang menonton atau tidak. Perlu diingat, bahwa sekadar agar anggaran terserap juga bisa menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Setiap penggunaan rupiah anggaran tentunya akan diverifikasi kewajarannya.

Kerja memang membutuhkan rencana. Rencana membutuhkan landasan yang benar dan arah yang tepat. Ini semua tidak bisa dilakukan dengan kebiasaan kerja ‘asal ngeglinding’ atau bisnis seperti biasa. Lembaga ;autopilot’ ini harus segera dikelola dengan kaidah-kaidah manajemen yang benar dan transparan.

Ketiga, Thinking Out of The Box. TVRI jangan juga jadi follower. Jadilah yang pertama, jadilah pembeda. Kalau tidak berhasil mewujudkan hal ini, cepat atau lambat TVRI hanya akan menjadi lembaga yang (kembali) sekadar membelanjakan APBN tanpa memberi dampak positif apa pun pada negara dan masyarakat.

Kreativitas jangan hanya ditafsirkan pada kualitas layar saja. Bagaimana kita bisa bicara soal kualitas jika dana APBN tidak cukup untuk mengangkat kualitas 35 layar TVRI. Dibutuhkan juga anggaran yang cukup untuk merevitalisasi media baru TVRI.

Sinergi dengan dunia usaha (swasta dan BUMN) hanya akan terjadi bila TVRI mau dan sanggup menyajikan data penontonnya melalui hasil riset yang kredibel. Tidak jadi masalah apakah riset pengukuran jumlah dan perilaku penonton TVRI di seluruh jangkauan siarannya itu dari Nielsen, internal TVRI, atau versi lembaga riset lainnya. Yang penting data ini harus ada dan kredibel. Dengan data ini, dunia usaha akan bisa mempertanggungjawabkan setiap kucuran dananya untuk mensponsori program dan memasang iklan di TVRI.

Jika hanya mengandalkan sumber dari APBN, maka kepanjangan TVRI bisa jadi akan diplesetkan menjadi Televisi Rerun Indonesia, yaitu televisi yang layarnya didominasi dengan program rerun (tayangan ulang). Siapa yang mau menonton TVRI yang isinya program rerun melulu? Untuk menekan tingginya tingkat rerun ini TVRI perlu dana lain di luar APBN.

Keempat, Good Governance. Tata kelola di semua lini haruslah memenuhi prinsip good governance. Transparansi dan keterbukaan dengan pemanfaatan kemudahan teknologi informasi bisa membuat seluruh pemangku kepentingan TVRI, utamanya publik, melihat keberadaan LPP TVRI sebagai ruang transparan.

Melibatkan publik melalui transparansi dalam setiap kebijakan manajemen operasional dan keuangan akan menjauhkan TVRI dari berbagai persepsi abu-abu terhadap banyak hal.

Good governance akan mengeliminasi bisik-bisik sumbang adanya ketidakwajaran dalam berbagai proses, tidak hanya dalam pengadaan barang dan program, tetapi juga suara-suara di dalam sekam soal seleksi Dewan Pengawas dan Direksi. Transparansi adalah landasan utama good governance.

Khususnya dalam tata kelola keuangan, penerapan prinsip quality of spending akan membuat setiap rupiah anggaran baik yang bersumber dari APBN maupun non-APBN menghasilkan manfaat yang maksimal. Menyisir terus menerus dan mengoptimalkan setiap pos anggaran akan berujung pada terjadinya anggaran yang efisien sekaligus efektif dalam mencegah pemborosan dan kebocoran.

Kelima, Bahagia Itu Sederhana. Setelah sehat, saatnya TVRI menuju sempurna dengan mewujudkan TVRI menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh jajaran sumber daya manusianya, mulai dari karyawan sampai direksi. Untuk membuat jajaran SDM bisa bekerja dengan fokus, gembira, dan bahagia menyongsong masa depan dirinya dan keluarga, remunerasi sewajarnya setara dengan rata-rata industri.

Bahagia itu sederhana. Akan tetapi jika yang sederhana saja belum bisa dipenuhi, maka sekitar 4.500 jajaran SDM TVRI di seluruh Indonesia hanya menjadi para pengisi daftar absensi saja.

Pentingnya menaikkan imbalan ini juga kuat kaitannya dengan masa depan TVRI. Mana ada SDM berkualitas mau berkarier di TVRI jika TVRI tidak bisa memberikan imbalan yang memadai dan kepastian masa depan yang baik.

Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kredibilitas sebuah institusi adalah besarnya antusiasme lulusan perguruan tinggi terpandang memilih institusi tersebut sebagai tempatnya bekerja saat usai menempuh pendidikan.

Ini memang isu klasik. Pertanyaan mana yang harus lebih dahulu antara kinerja dan remunerasi akan muncul. Layaknya mana yang lebih dahulu, ayam atau telur.

Seperti jargon ‘Berubah atau Punah’, itulah yang dihadapi TVRI. Jika tidak berubah, lembaga ini lama-lama hanya akan menjadi sekadar ruang tunggu masa pensiun bagi banyak pegawainya. Atau mungkin juga bisa menjadi sekadar arena bermain bagi sebagian orang, baik itu ‘orang dalam’ atau ‘orang luar’ yang masuk ke TVRI melalui jalur seleksi untuk jabatan tertentu.

TVRI bisa menjadi dunia fantasinya. Cari tiket masuk dan tinggal pilih mau bermain di wahana apa. Hanya untuk bermain-main. Tidak lebih dari itu.

Dari sisi perannya sebagai Lembaga Penyiaran Publik, kalau kinerja TVRI jalan di tempat, cepat atau lambat (atau malah sudah) peran kepublikannya akan direbut stasiun TV lain atau oleh media baru yang marak bermunculan.

Jika ini sampai terjadi, buat apa negara setiap tahunnya mengalokasikan APBN untuk TVRI?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper