Bisnis.com, JAKARTA – Konflik di Timur Tengah terus berkecamuk antara militan Hamas dengan Israel, setelah pecah pada akhir pekan lalu usai Hamas melakukan serangan tiba-tiba ke wilayah sipil Israel.
Perang yang terjadi sejak akhir pekan lalu menyebabkan ribuan korban jiwa berjatuhan, baik dari Israel maupun warga sipil Palestina.
Melansir Reuters, Jumat (13/10/2023), korban tewas di pihak Israel telah meningkat menjadi lebih dari 1.300 orang. Sejumlah sandera Israel dan asing dibawa kembali ke GazaIsrael mengatakan telah mengidentifikasi 97 di antaranya.
Sementara itu, otoritas Gaza mengatakan lebih dari 1.400 warga Palestina tewas dan lebih dari 6.000 lainnya terluka. 10 petugas medis Palestina termasuk di antara korban tewas tersebut.
Meskipun kerugian yang dialami kedua belah pihak akibat konflik ini tak terbayangkan, sejumlah negara diperkirakan bakal diuntungkan dari konflik Hamas-Israel.
Lantas, negara mana saja yang diuntungkan, atau bahkan mengambil keuntungan, dari eskalasi konflik di Timur Tengah ini?
Baca Juga
Rusia
Rusia diperkirakan mendapatkan keuntungan dari konflik Hamas Israel, karena permintaan Israel untuk bantuan militer AS berisiko mengalihkan fokus dari Ukraina. Sementara itu, lonjakan harga minyak dan berpotensi masih berlanjut juga bakal menguntungkan Israel secara ekonomi.
Sekutu-sekutu AS dan NATO telah meredakan kekhawatiran mengenai kemampuan mereka untuk terus mendukung Ukraina secara militer setelah serangan kelompok militan Hamas yang berbasis di Gaza ke Israel.
Untuk diketahui, Ukraina telah menerima miliaran bantuan dari AS setiap tahunnya. Namun Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan pada hari Selasa bahwa kekerasan yang terjadi di Israel dan Gaza mungkin akan berdampak pada Ukraina.
"Ada risiko bahwa perhatian internasional akan berpaling dari Ukraina, dan hal itu akan menimbulkan konsekuensi," ungkap Zelensky seperti dikutip Reuters.
Salah seorang sumber Reuters mengatakan ada pemahaman bahwa perang antara Israel dan Hamas akan menguntungkan Rusia. Konflik ini berpotensi mengalihkan perhatian AS dan Eropa dari perang di Ukraina dan mengurangi bantuan persenjataan. Anggaran bantuan militer untuk Ukraina diperkirakan terhambat akibat fokus AS beralih.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan tujuan Presiden Vladimir Putin akan tercapai lebih cepat jika fokus AS pada konflik Israel mengakibatkan perlambatan pengiriman senjata ke Kyiv.
Dalam sebuah konferensi pers, setelah pembicaraan dengan Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit, Lavrov menegaskan bahwa bagaimanapun juga, tujuan itu akan tercapai.
Dampak konflik Israel-Hamas terhadap harga minyak juga dapat meningkatkan upaya perang Rusia di Ukraina. Hal ini mengingat Rusia adalah salah satu produsen minyak mentah terbesar di dunia.
Harga minyak turun tipis pada hari Selasa, setelah kekhawatiran bahwa konflik tersebut dapat melibatkan produsen energi utama di wilayah tersebut seperti Iran dan Arab Saudi yang sebelumnya mendorong harga minyak mentah berjangka AS di atas US$87 per barel.
"Ketika harga minyak naik, hal ini memungkinkan mereka untuk melanjutkan pengeluaran untuk produksi senjata dan juga membantu mereka menutupi beberapa defisit anggaran," kata peneliti kebijakan Rand Corporation Ann Marie Dailey.
Iran
Senior Fellow America Statecraft Program di Carniege Endowment for International Peace Aaron David mengatakan Iran juga berpotensi mendapat keuntungan dari perang Hamas-Israel.
Dengan dukungannya terhadap Hamas, Iran mendapat jendela ke dalam konflik Arab-Israel di mana ia dapat memproyeksikan pengaruhnya dan melemahkan Israel.
”Iran jelas mendapat keuntungan dari serangan Hamas yang telah mengikis daya tangkal Israel dan menghambat normalisasi Israel-Saudi dan menempatkan Iran di dermag,” ungkap David.
Namun, keuntungan Iran dapat terkikis jika Israel berhasil melemahkan kekuatan Hamas di Gaza atau jika konflik meluas dan mengarah pada konfrontasi langsung antara Israel dan Iran. Iran juga berpotensi diuntungkan dari penguatan harga minyak mentah akibat konflik mengingat negara ini menjadi salah satu produsen utama minyak.
Meskipun harga minyak mentah telah turun, Wakil CEO pedagang komoditas Mercuria Magid Shenouda mengatakan bahwa minyak mentah masih berpotensi mencapai US$100 per barel jika situasi di Timur Tengah semakin memburuk.
"Saya rasa tidak banyak analis yang percaya bahwa harga minyak akan mencapai US$100, dalam situasi normal. Saya pikir peristiwa-peristiwa yang terjadi baru-baru ini menempatkan awan besar (di atas) di mana segala sesuatunya dapat terjadi, karena pasar tidak menilai banyak konflik," kata Shenouda.