Bisnis.com, SOLO - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD telah menjelaskan tentang status tanah Pulau Rempang.
Seperti diketahui, Pulau Rempang viral setelah terjadi bentrok antara petugas gabungan dari Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP pada Kamis, 7 September 2023.
Diketahui, bentrokan dipicu oleh penolakan masyarakat adat Pulau Rempang tentang rencana relokasi atas Pembangunan kawasan industri di lahan pulau seluas 17 ribu hektare di wilayah tersebut.
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad, dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak pembangunan, tetapi menolak direlokasi.
"Setidaknya terdapat 16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini, kami ingin kampung-kampung itu tidak direlokasi," katanya dilansir dari Nu Online.
Mengacu pada masalah ini, Mahfud MD sempat menjelaskan tentang status Pulau Rempang beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Menurutnya, hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.
“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, [Pulau] Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha,” kata Mahfud MD seperti dilansir dari Antara, Jumat (8/9/2023).
Kemudian pada tahun 2004, hak Pulau Rempang diberikan kepada pihak lain karena lama tidak ditempati.
Masalah timbul sejak tahun 2022 saat investor sudah masuk ke Pulau Rempang. Ketika pemegang hak datang ke pulau tersebut, ternyata areanya sudah ditempati.
“Kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK [Lingkungan Hidup dan Kehutanan],” katanya.
Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.
“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” katanya.
Sebagai informasi berdasarkan catatan Bisnis.com, pengembangan kawasan tersebut dilakukan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata.
Proyek ini memiliki nilai investasi jumbo sebesar Rp381 triliun yang terus dikucurkan sampai dengan 2080 dan ditargetkan dapat menyerap 306.000 orang tenaga kerja.
Nasib Masyarakat Adat Rempang
Warga Rempang masih menolak rencana relokasi yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sebab mereka mengklaim sudah menempati wilayah tersebut hampir dua abad lamanya.
Sebagai informasi, warga Rempang dan Galang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya 189 tahun.
"Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga," kata Gerisman.
Tapi jika hukum saat ini membuat masyarakat harus pergi, pemerintah telah mempersiapkan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) di Kota Batam.
Beberapa tempat yang rencananya akan digunakan sebagai relokasi sementara yakni di Rusun BP Batam, Rusun Pemerintah Kota (Pemko) Batam, Rusun Jamsostek, ruko-ruko dan perumahan sekitarnya.
Sementara itu, rumah yang dijanjikan BP Batam untuk warga Rempang yang terimbas relokasi baru selesai pada Agustus 2024, atau setahun lagi.